Minggu, 06 Januari 2008

Hari ini kami kembali ke Kampung Lio lagi. Sekaligus untuk (lagi-lagi) membicarakan jadwal ngajar. Kami merasa yang di Kidul pun belum efektif karena ada 3 hari yang “terganggu” oleh kegiatan IRM. Kebetulan semua relawan di Kidul adalah anak-anak IRM. Sehingga aktifitasnya memang harus dibagi dengan kegiatan-kegiatan organisasi tersebut. Sebagian, kata Deni meminta ngajar jangan berhenti di hari kemarin.

Bertemu lagi dengan Opik, yang mengatakan kalau pengajaran sepertinya belum bisa dilaksanakan karena relawan sedang bingung tentang konflik yang terjadi di masyarakat setelah Rembug Warga pertama kemarin-kemarin. Rembug Warga ternyata ada yang menyebutnya sebagai biang konflik di kampung Lio. Setelah selesai Rembug Warga, ternyata ada perbincangan-perbincangan tidak “mengenakan” yang ditunjukkan kepada para relawan, maupun saling berprasangka di antara warga kampung Lio. Konflik terbesar adalah lagi-lagi atas prokontra adanya Cafe yang suka “bikin bising” sebagaian warga Lio yang tepat berada di belakang Cafe tersebut.

Beberapa saat kemudian, ada Pak Asep dan Fuji. Fuji mengatakan hal yang sama tentang jadwal pelatihan. Dia yang adalah ketuanya di Lio, sedang pusing-pusingnya memecahkan konflik tersebut. Hal itu terlihat dari cara ngomongnya dan raut mukanya yang aduuuhhhh kasian buanget deh pokoknya...yu, kayaknya dia memang lagi pusing. Kemudian Pak Asep lumayan meneduhkan masalah ini yang mengatakan sebetulnya masalah-masalah yang timbul di masyarakat sudah ada jauh sebelum CDASC datang. Hanya dipendam. Dan waktu mengadakan Rembug Warga kemarin2 semuanya justru jadi terbuka. Selalu ada nilai positifnya. Pak Asep adalah seorang pelukis, beliau punya sanggar sederhana yang digunakan untuk mengajar lukis kepada anak-anak. Wahhh....mudah-mudahan saya bisa belajar di kemudian hari. Dan beliau juga menjanjikan itu asalkan kami mengajarkan Corel dan Photoshop dulu. Akhirnya, malah beliau yang sangat semangat untuk belajar Corel dan Photoshop, sekaligus katanya pengen belajar multimedia hihi....seandainya kita mempunyai banyak waktu....
Ketika kami menyarankan untuk bikin mural, beliau sangat tertarik sekali.

Jam 2 siang kami kembali ke rumah untuk melanjutkan “ngutak-ngatik” logo FASB.

Rabu, 02 Januari 2008

Visi Misi Forum Anak Siaga Bencana

Hari ke-17
Pagi-pagi sudah turun hujan. Untungnya, kami masih terfokus untuk merencanakan pembuatan identitas FASB. Jadi, kami tidak merencanakan pergi keluar Panawuan. Deni sedang membuat beberapa sketsa tentang tema kampanye untuk didiskusikan nanti kepada para relawan. Belum tentu konsep yang disketsakan tadi akan dipakai, tapi nanti sepertinya akan menjadi bahan diskusi yang menarik dengan para relawan. Saya pergi ke beskem Lebak ingin melihat-lihat data laporan hasil rembug warga yang ternyata masih belum beres juga. Saya mengerti, memang sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk membuatnya.

Ketika sampai di beskem, ada Mang Dede, ketua RW O7 dan ketua relawan Panawuan Lebak (PanLeb) sedang membaca koran sambil tiduran. Ternyata, Pak RW yang jenius ini baru pulang dari sawah yang katanya pulang karena hujan. Yups, menurut saya beliau memang jenius. Dialah yang membuat alat peraga simulasi bencana beberapa bulan ke belakang yang katanya membuat kagum para tamu yang datang saat acara simulasi bencana diadakan. Dialah ‘motornya’ PanLeb. Saya lihat, bapak ini senang membuat tulisan-tulisan di kertas yang tercecer di beskem. Hebat saya pikir, harusnya anak muda yang berpikir seperti beliau.

Adzan dzuhur tiba, saya masih mengajari Feri yang nanya ini itu mengenai Photoshop. Feri memang termasuk yang paling jago Corel dan Photoshop daripada yang lainnya. Kami senang melihatnya punya semangat belajar desain. Mang Dede tiba-tiba menyodorkan sebuah sketsa untuk logo FASB. Menarik, karena ternyata gambarnya hampir mirip dengan konsep yang saya pikirkan (yang gambarnya sudah dibuat oleh Deni). Hanya berbeda sudut pandang berpikirnya.

Hari ini memang cukup menyenangkan, karena ternyata niat untuk mengumpulkan setidaknya perwakilan dari ketiga beskem dapat terwujud. Malah saya sangat kaget ternyata banyak juga yang hadir melebihi perkiraan saya. Pertemuan dijadwalkan setelah sholat maghrib. Umed juga hadir sebagai “penghangat” (hehe....). Wacana yang didiskusikan ternyata lebih banyak (dan lama) membahas tentang Visi dan Misi FASB. Tetapi sangat menarik, karena saya tidak menyangka akan “seserius” ini. Serius tapi santai, sambil makan bandros hehe....Cukup demokratis sepertinya, hampir semuanya terlibat dalam diskusi tersebut. Lagi-lagi, saya melihat sebuah proses. Proses, proses, proses.....mungkin itulah setidaknya yang bisa saya ambil sebagai pelajaran dari bidang desain yang selalu mendengungkan “proses” sekaligus sebagai “penyeimbang” atas anggapan tentang desain yang cenderung mengatasnamakan kapitalisme.

Selasa, 01 Januari 2008

Situ Cangkuang yang Indah dan Musibah yang Mengerikan

Hari ke-16
Sekarang-sekarang ini, sepertinya cuaca sedang “bad mood”. Saat ini mendung, beberapa menit kemudian panas, lalu hujan. Itulah juga gambaran pagi ini. Mau melanjutkan rencana presentasi tentang logo FASB belum bisa karena sebagian relawan masih di Papandayan sepertinya. Terlalu pagi. Pasti mereka butuh istirahat setelah kembali. Saya pun akhirnya mengajak Deni ke Situ Cangkuang untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Garut. Kata teh Yanti, di sana ada museum (kecil) yang mungkin bisa menambah inspirasi. Saya pernah menanyakan ke beberapa orang di sini perihal museum di Garut. Ternyata tidak ada, kecuali di sana. Kami pun berangkat....mega di atas kami sangat putih, sedangkan di Gunung Guntur yang sangat dekat dengan Panawuan sedang mendung.

Seperti yang saya bilang tadi, cuaca memang sedang tidak menentu. Baru saja pergi sekitar 2 km, hujan rintik-rintik. Makin dekat dengan lokasi Candi, sepertinya sudah hujan tadi pagi. Melihat ke langit, memang sangat unik. Sisi lain cerah, yang lain mendung, ada pula sepertinya kawasan yang sedang turun hujan. Kalau di bayangkan, di photoshop, seperti beberapa file imej dengan gambar yang sama tapi mempunyai tingkat saturasi yang berbeda-beda (hehe...mulai ngelantur).

Intinya, saya ingin ke Situ (danau.red) Cangkuang karena sudah lama tidak naik rakit. Ingat waktu kecil dulu di kampung yang tidak terlalu jauh dari sebuah danau kecil yang suka dipakai berenang, juga bermain rakit punya tetangga saya yang kebetulan masih menjadi kuncen sebelum danaunya dibeli oleh salah satu perusahaan air mineral.

Situ Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, masih termasuk kabupaten Garut. Tidak terlalu jauh dari pusat kota. Mungkin hanya beberapa kilometer. Ada yang menyebut Candi Cangkuang, karena memang ada sebuah candi peninggalan abad 8M. Kediaman Syekh Arif Muhammad ketika menyebarkan Islam di sana. Yang paling menarik bagi saya adalah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo yang berhadapan dengan gerbang masuk Candi. Dalam komplek tersebut, hanya ada 7 rumah (termasuk 1 mushola) panggung adat Sunda. Tujuh rumah ditujukan kepada putra-putri Syekh Arif Muhammad yang berjumlah 7. “Imah Panggung” yang masih dipertahankan keasliannya tersebut mengingatkan kepada rumah kakek buyut saya dulu. Saya ke wc umum sebentar, ternyata lumayan gelap padahal di luar sangat panas. Ternyata wc tersebut tidak pakai lampu, hanya ada “damar” yang tidak menyala.

Memang, merenung di atas rakit sambil menatap sejauh mungkin sangat menyenangkan...tenang...tenteram....Angin kencang, membuat rambutku yang sudah kurang terurus melambai-lambai ke belakang. Lalu berpikir dalam hati, “coba bawa Camcorder”, pasti keren. Sekalian bikin “pidioklip-pidioklipan” lagu Sunda yang sekarang lagi “booming”, Kabogoh Jauh, edun siganamah....

Kami pulang, di tengah perjalanan macet. Ada apa gerangan. Ternyata ada mobil dengan plat B tertimpa pohon besar yang roboh akibat angin kencang. Memang, ketika kami berada di Candi Cangkuang pun anginnya kuencang sekali. Beberapa cabang dan ranting pohon di sekitar candi seringkali berjatuhan. Di sini pun sepertinya begitu. Hingga pohon sebesar itu bisa roboh. Saya pun langsung mendekati pusat kejadian dengan membawa kamera digital. Potret sana-sini, meskipun ada rasa ngilu karena ternyata kejadiannya parah sekali. Saya melihat darah di jajaran jok tengah. Pohon tersebut ternyata hampir sampai ke lantai mobil. Lalu membayangkan seperti apa orang-orang yang di dalamnya. “Apakah mereka selamat?” sepertinya kemungkinannya sangat kecil. Sementara sebagian warga membantu memotong-motong pohon yang numpang pada kendaraan tadi, sebagiannya lagi saya lihat sibuk dengan urusannya sendiri. Mengambil kayu hasil potongan tadi untuk dijadikan kayu bakar. Mungkin untuk dibagi-bagi ke seluruh warga? Atau untuk dirinya sendiri? Entahlah....Yang jelas, bencana tidak selalu membuat semua orang bersedih...