Minggu, 06 Januari 2008

Hari ini kami kembali ke Kampung Lio lagi. Sekaligus untuk (lagi-lagi) membicarakan jadwal ngajar. Kami merasa yang di Kidul pun belum efektif karena ada 3 hari yang “terganggu” oleh kegiatan IRM. Kebetulan semua relawan di Kidul adalah anak-anak IRM. Sehingga aktifitasnya memang harus dibagi dengan kegiatan-kegiatan organisasi tersebut. Sebagian, kata Deni meminta ngajar jangan berhenti di hari kemarin.

Bertemu lagi dengan Opik, yang mengatakan kalau pengajaran sepertinya belum bisa dilaksanakan karena relawan sedang bingung tentang konflik yang terjadi di masyarakat setelah Rembug Warga pertama kemarin-kemarin. Rembug Warga ternyata ada yang menyebutnya sebagai biang konflik di kampung Lio. Setelah selesai Rembug Warga, ternyata ada perbincangan-perbincangan tidak “mengenakan” yang ditunjukkan kepada para relawan, maupun saling berprasangka di antara warga kampung Lio. Konflik terbesar adalah lagi-lagi atas prokontra adanya Cafe yang suka “bikin bising” sebagaian warga Lio yang tepat berada di belakang Cafe tersebut.

Beberapa saat kemudian, ada Pak Asep dan Fuji. Fuji mengatakan hal yang sama tentang jadwal pelatihan. Dia yang adalah ketuanya di Lio, sedang pusing-pusingnya memecahkan konflik tersebut. Hal itu terlihat dari cara ngomongnya dan raut mukanya yang aduuuhhhh kasian buanget deh pokoknya...yu, kayaknya dia memang lagi pusing. Kemudian Pak Asep lumayan meneduhkan masalah ini yang mengatakan sebetulnya masalah-masalah yang timbul di masyarakat sudah ada jauh sebelum CDASC datang. Hanya dipendam. Dan waktu mengadakan Rembug Warga kemarin2 semuanya justru jadi terbuka. Selalu ada nilai positifnya. Pak Asep adalah seorang pelukis, beliau punya sanggar sederhana yang digunakan untuk mengajar lukis kepada anak-anak. Wahhh....mudah-mudahan saya bisa belajar di kemudian hari. Dan beliau juga menjanjikan itu asalkan kami mengajarkan Corel dan Photoshop dulu. Akhirnya, malah beliau yang sangat semangat untuk belajar Corel dan Photoshop, sekaligus katanya pengen belajar multimedia hihi....seandainya kita mempunyai banyak waktu....
Ketika kami menyarankan untuk bikin mural, beliau sangat tertarik sekali.

Jam 2 siang kami kembali ke rumah untuk melanjutkan “ngutak-ngatik” logo FASB.

Rabu, 02 Januari 2008

Visi Misi Forum Anak Siaga Bencana

Hari ke-17
Pagi-pagi sudah turun hujan. Untungnya, kami masih terfokus untuk merencanakan pembuatan identitas FASB. Jadi, kami tidak merencanakan pergi keluar Panawuan. Deni sedang membuat beberapa sketsa tentang tema kampanye untuk didiskusikan nanti kepada para relawan. Belum tentu konsep yang disketsakan tadi akan dipakai, tapi nanti sepertinya akan menjadi bahan diskusi yang menarik dengan para relawan. Saya pergi ke beskem Lebak ingin melihat-lihat data laporan hasil rembug warga yang ternyata masih belum beres juga. Saya mengerti, memang sepertinya butuh waktu yang cukup lama untuk membuatnya.

Ketika sampai di beskem, ada Mang Dede, ketua RW O7 dan ketua relawan Panawuan Lebak (PanLeb) sedang membaca koran sambil tiduran. Ternyata, Pak RW yang jenius ini baru pulang dari sawah yang katanya pulang karena hujan. Yups, menurut saya beliau memang jenius. Dialah yang membuat alat peraga simulasi bencana beberapa bulan ke belakang yang katanya membuat kagum para tamu yang datang saat acara simulasi bencana diadakan. Dialah ‘motornya’ PanLeb. Saya lihat, bapak ini senang membuat tulisan-tulisan di kertas yang tercecer di beskem. Hebat saya pikir, harusnya anak muda yang berpikir seperti beliau.

Adzan dzuhur tiba, saya masih mengajari Feri yang nanya ini itu mengenai Photoshop. Feri memang termasuk yang paling jago Corel dan Photoshop daripada yang lainnya. Kami senang melihatnya punya semangat belajar desain. Mang Dede tiba-tiba menyodorkan sebuah sketsa untuk logo FASB. Menarik, karena ternyata gambarnya hampir mirip dengan konsep yang saya pikirkan (yang gambarnya sudah dibuat oleh Deni). Hanya berbeda sudut pandang berpikirnya.

Hari ini memang cukup menyenangkan, karena ternyata niat untuk mengumpulkan setidaknya perwakilan dari ketiga beskem dapat terwujud. Malah saya sangat kaget ternyata banyak juga yang hadir melebihi perkiraan saya. Pertemuan dijadwalkan setelah sholat maghrib. Umed juga hadir sebagai “penghangat” (hehe....). Wacana yang didiskusikan ternyata lebih banyak (dan lama) membahas tentang Visi dan Misi FASB. Tetapi sangat menarik, karena saya tidak menyangka akan “seserius” ini. Serius tapi santai, sambil makan bandros hehe....Cukup demokratis sepertinya, hampir semuanya terlibat dalam diskusi tersebut. Lagi-lagi, saya melihat sebuah proses. Proses, proses, proses.....mungkin itulah setidaknya yang bisa saya ambil sebagai pelajaran dari bidang desain yang selalu mendengungkan “proses” sekaligus sebagai “penyeimbang” atas anggapan tentang desain yang cenderung mengatasnamakan kapitalisme.

Selasa, 01 Januari 2008

Situ Cangkuang yang Indah dan Musibah yang Mengerikan

Hari ke-16
Sekarang-sekarang ini, sepertinya cuaca sedang “bad mood”. Saat ini mendung, beberapa menit kemudian panas, lalu hujan. Itulah juga gambaran pagi ini. Mau melanjutkan rencana presentasi tentang logo FASB belum bisa karena sebagian relawan masih di Papandayan sepertinya. Terlalu pagi. Pasti mereka butuh istirahat setelah kembali. Saya pun akhirnya mengajak Deni ke Situ Cangkuang untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Garut. Kata teh Yanti, di sana ada museum (kecil) yang mungkin bisa menambah inspirasi. Saya pernah menanyakan ke beberapa orang di sini perihal museum di Garut. Ternyata tidak ada, kecuali di sana. Kami pun berangkat....mega di atas kami sangat putih, sedangkan di Gunung Guntur yang sangat dekat dengan Panawuan sedang mendung.

Seperti yang saya bilang tadi, cuaca memang sedang tidak menentu. Baru saja pergi sekitar 2 km, hujan rintik-rintik. Makin dekat dengan lokasi Candi, sepertinya sudah hujan tadi pagi. Melihat ke langit, memang sangat unik. Sisi lain cerah, yang lain mendung, ada pula sepertinya kawasan yang sedang turun hujan. Kalau di bayangkan, di photoshop, seperti beberapa file imej dengan gambar yang sama tapi mempunyai tingkat saturasi yang berbeda-beda (hehe...mulai ngelantur).

Intinya, saya ingin ke Situ (danau.red) Cangkuang karena sudah lama tidak naik rakit. Ingat waktu kecil dulu di kampung yang tidak terlalu jauh dari sebuah danau kecil yang suka dipakai berenang, juga bermain rakit punya tetangga saya yang kebetulan masih menjadi kuncen sebelum danaunya dibeli oleh salah satu perusahaan air mineral.

Situ Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, masih termasuk kabupaten Garut. Tidak terlalu jauh dari pusat kota. Mungkin hanya beberapa kilometer. Ada yang menyebut Candi Cangkuang, karena memang ada sebuah candi peninggalan abad 8M. Kediaman Syekh Arif Muhammad ketika menyebarkan Islam di sana. Yang paling menarik bagi saya adalah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo yang berhadapan dengan gerbang masuk Candi. Dalam komplek tersebut, hanya ada 7 rumah (termasuk 1 mushola) panggung adat Sunda. Tujuh rumah ditujukan kepada putra-putri Syekh Arif Muhammad yang berjumlah 7. “Imah Panggung” yang masih dipertahankan keasliannya tersebut mengingatkan kepada rumah kakek buyut saya dulu. Saya ke wc umum sebentar, ternyata lumayan gelap padahal di luar sangat panas. Ternyata wc tersebut tidak pakai lampu, hanya ada “damar” yang tidak menyala.

Memang, merenung di atas rakit sambil menatap sejauh mungkin sangat menyenangkan...tenang...tenteram....Angin kencang, membuat rambutku yang sudah kurang terurus melambai-lambai ke belakang. Lalu berpikir dalam hati, “coba bawa Camcorder”, pasti keren. Sekalian bikin “pidioklip-pidioklipan” lagu Sunda yang sekarang lagi “booming”, Kabogoh Jauh, edun siganamah....

Kami pulang, di tengah perjalanan macet. Ada apa gerangan. Ternyata ada mobil dengan plat B tertimpa pohon besar yang roboh akibat angin kencang. Memang, ketika kami berada di Candi Cangkuang pun anginnya kuencang sekali. Beberapa cabang dan ranting pohon di sekitar candi seringkali berjatuhan. Di sini pun sepertinya begitu. Hingga pohon sebesar itu bisa roboh. Saya pun langsung mendekati pusat kejadian dengan membawa kamera digital. Potret sana-sini, meskipun ada rasa ngilu karena ternyata kejadiannya parah sekali. Saya melihat darah di jajaran jok tengah. Pohon tersebut ternyata hampir sampai ke lantai mobil. Lalu membayangkan seperti apa orang-orang yang di dalamnya. “Apakah mereka selamat?” sepertinya kemungkinannya sangat kecil. Sementara sebagian warga membantu memotong-motong pohon yang numpang pada kendaraan tadi, sebagiannya lagi saya lihat sibuk dengan urusannya sendiri. Mengambil kayu hasil potongan tadi untuk dijadikan kayu bakar. Mungkin untuk dibagi-bagi ke seluruh warga? Atau untuk dirinya sendiri? Entahlah....Yang jelas, bencana tidak selalu membuat semua orang bersedih...







Senin, 31 Desember 2007

Hepi Nyu Yeurr

Hari ke-15
Pagi-pagi saya sudah bangun soalnya ada rencana mendiskusikan pembuatan logo dengan Denden dan para relawan. Draft (hanya corat-coret.red) yang mau dipresentasikan pun sudah dicatat. Isinya, uraian materi yang harus diterangkan nanti waktu ngumpul mengenai pembuatan logo FASB (Forum Anak Siaga Bencana). Menurut rencana, prosesnya harus melibatkan relawan (meskipun tidak seluruhnya) dalam proses pembuatan logo tersebut. Pelibatan diharapkan akan memunculkan impresi dan rasa memiliki para penggiat komunitas terhadap logo yang akan dibuat. Terlebih lagi, para penggiat di komunitas ini diharapkan bisa mandiri ketika beberapa bulan ke depan akan ditinggalkan oleh organisasi “induknya” (apakah istilahnya seperti itu..??), CDASC.

Tapi ternyata semuanya tidak berjalan dengan lancar. Memang, karena agenda ngumpul tidak kami “sebarkan” secara serius. Kami hanya membicarakan ini dengan para relawan sebagian. Itu pun tidak disampaikan terlalu serius.

Saya lupa bahwa hari ini sebagian orang akan merayakan hari tahun baru. Tadi pagi ketika beli rokok ada Kang Ao bawa ransel yang memberitahu saya akan berangkat ke Papandayan dengan beberapa relawan lain. Sejam kemudian saya pergi ke beskem Lebak, ternyata memang, tempat yang biasa rame menjadi sepi, cuma ada Kang Eki yang justru biasanya tidak terlalu sering mengunjungi beskem. Saya pun kembali ke rumah (Teh Yanti). Kami berdua bingung, harus ngapain hari ini. Deni masih nerusin nge-trace gambarnya yang kemarin lusa baru di-scan. Saya pun iseng sms Sansan, menanyakan sudah mengerjakan apa saja di Bantul sekalian menanyakan no. hp Ata. Hasilnya, lumayan. Saya dan Deni bisa ada alasan untuk tertawa hahahaha. Ternyata bukan kami saja yang gelisah...komo Ata mah cenah heuheu...dah sebulan gelisah, “gelo siah” kata Ata.

Karena bingung (bingung wae iyeumah ceuk PFahmi teh heuheu.....punten Bos) mau ke mana hari ini. Saya pun bertanya kepada Teh Yanti yang kebetulan sedang berada di rumah mengenai cara mengumpulkan (setidaknya) perwakilan relawan dari masing-masing beskem. Sampai saat ini, susah sekali sepertinya mengumpulkan mereka karena punya agenda yang berbeda-beda. Seperti di kampung Lio, saat ini masih mempunyai agenda Rembug Warga, tapi di Panawuan Lebak sudah beres pada hari kedua setelah kedatangan kami. Teh Yanti pun mengatakan “Insya Allah saya bisa mengumpulkan mereka”. Sebetulnya, bisa saja kami hanya melibatkan relawan di Panawuan saja, tapi dikhawatirkan akan terjadi “kecemburuan”.

Berawal dari pertanyaan tadi, ternyata akhirnya kami dan Teh Yanti ngobrol segala macem. Curhat sudah pasti hehe...tapi beliau banyak sekali menerangkan “tentang hidup”, dan hampir selalu begitu setiap kami membicarakan sesuatu. Selalu ada pelajaran berharga yang dapat kami ambil.

Adzan Ashar berkumandang, kami harus bersiap-siap pergi ke Kidul untuk mengajar. Tidak seperti biasanya, saya bawa laptop untuk sekalian mengetik “dongeng” hari ini di sela-sela ngajar. Biasanya, saya tulis dulu ke buku kecil, tapi menurut pengalaman hari-hari yang lalu, tiap malam ketika membuka buku kecil dan akan menuangkannya dalam “mikrosop weud”, waduuuhhh langsung pening meeennn.....pabaliut jeung tunduh!

Bingung (bingung deui??) nyerita na oge ari teu ka mana-mana mah nya...Oh iya, tadi pagi ketika beli kopi Abese Moka, saya ketemu sama Ki Barzah pendekar silat tea, dia mengajak kami malam ini (sekarang berarti!) ke alun-alun yang katanya suka rame pada malam tahun baru-an, sekalian bawa Camcorder buat iseng2 nge-shot katanya. Tos heula ah.....

Selamat Hari Raya Tahun Baru bagi Anda yang menunaikannya...


Sabtu, 29 Desember 2007

Wow!

Hari Ke-13
Lagu runaway-nya The Corrs memang indah, apalagi kalau sambil lihat vokalisnya :) Lumayan untuk menemani dirikyu di saat melepas lelah sambil ngetik “dongeng” hari ini. Tapi bukan lagu itu yang membuat hari ini saya katakan “Wow!”.

Mungkin ini yang PFahmi sebut sebagai “kegelisahan”. Bisa dikatakan, kemarin saya (dan Deni juga sepertinya) mulai merasakan kegelisahan-kegelisahan tersebut. Berbeda dengan kekhawatiran. Kegelisahan yang positif (mudah-mudahan). Kami mulai benar-benar memahami bahwa sesungguhnya DESIGN memang sebuah PROCESS. Kenapa? Karena sekarang kami sedang “berpetualang” dalam “proses” tersebut. Seperti yang PFahmi katakan tadi pagi saat chating, “desain teh multidisplin, aya keterlibatan proses, bukan cuman proses visualisasi”. Saya jadi teringat kepada teman baik saya dulu, dia mengatakan kepada saya bahwa kata DESIGN bisa diganti dengan kata PROCESS. Waktu itu saya masih semester pertama, dia satu tahun di atas saya, juga seorang mahasiswa DKV. Saya malah bengong, “naha ujug2 proses?? teu nyambung”. Wajarlah... namanya juga masih ABG heuheu.....Perkiraan dulu, desain hanya bergelut dengan korel, potosop, ples, adob iloestrator, de el el.

Kembali ke kegelisahan tadi. Banyak jalan menuju Roma (heuheu...biar tidak terlalu serius). Banyak cara menghilangkan kegelisahan. Yang pertama tentu saja kami lapor dulu ke PFahmi tadi malam sekalian minta jurnal desain Padang barangkali kami dapat bayangan apa yang harus dilakukan berikutnya. Akhirnya PFahmi mengajak kita untuk chating besok paginya (tadi pagi). Tadi pun kami bangun pagi sekali, tapi bukan untuk chating sama PFahmi yang sudah dijadwalkan jam 8 :) Kami malah mengerjakan laporan Rembug Warga yang katanya pengen didesain seperti majalah Concept (euleuhhh....hebat). Memang, kebiasaan buruk, ada saja alasan untuk terlambat, meskipun sudah zaman postmodern, masih ada saja istilah jam karet. Kami pergi ke warnet jam 10an. Itupun setelah PFahmi meng-sms yang katanya sudah online dari tadi. Beliau memang sangat baik sekali (heuheu.....jangan ge er), masih saja menyempatkan waktunya untuk mendengarkan kegelisahan kami walaupun katanya sangat lapar karena belum sempat sarapan.

“Curhat” pun berlangsung. Ternyata sekarang jauh lebih terbuka daripada ketika saya masih menjadi mahasiswanya heuheu.....menyenangkan! Setidaknya kami punya bayangan yang lebih jelas apa yang harus dilakukan berikutnya.

Kenapa saya gelisah? Saya punya ilustrasi seperti ini. Alkisah, kami adalah tikus paling tampan (heuheu....punten Deni) yang sedang mencari makanan di dapurnya seorang manusia. Kami senang karena ternyata (kami pikir) umat manusia itu baik sekali. Di hadapan kami ada sepotong keju menggantung pada sebuah kawat besi. Spontan, kami berdua saling menatap, kemudian tertawa sambil berlari penuh semangat hendak mengambil keju yang menggantung tadi karena sudah terlalu lapar! Apa yang terjadi.....ternyata kami terperangkap oleh jebakan manusia. Keju tadi adalah umpan agar kami masuk ke kotak yang terbuat dari kawat besi itu (Senteg.red). Kami pun mulai gelisah, tidak ada jalan keluar, kami pun beberapa saat saling terdiam, merenung, saya harus meminta saran atau memberi saran, Deni pun juga sepertinya sedang berpikir serius. Malam semakin gelap, sepi, hanya suara-suara serangga malam yang terdengar di luar seperti malam-malam kemarin. Satu yang pasti, kami sedang berpikir untuk keluar dari kebuntuan ini.

Heuheu.....nyambung teu nya ilustrasina. Tapi setidaknya itulah yang terjadi tadi malam antara saya dan Deni...(bukan masalah tikusnya). Setidaknya lagi, saya masih bisa berpikir (tidak) waras dengan masih sempat membuat cerita fiksi di atas hehe...

Back to reality.....
Sekitar jam 13.30 kami kembali ke beskem Lebak untuk nge-print Jurnal Desain Padang. Saya kemudian nelfon Fuji ketua relawan di Kampung Lio yang lagi-lagi sulit dihubungi. Kemudian kembali ke rumah Teh Yanti untuk menentukan materi pengajaran yang hari ini adalah hari pertama kami mengajar di beskem Kidul. Deni meneruskan me-layout laporan Rembug Warga, sementara saya melamun (hehehe...). Kemudian Denden datang sesaat sebelum Ashar. Kortim ini saya lihat sedang sibuk-sibuknya. Sekalian dia mengingatkan kami untuk mengajar di beskem Kidul. Sesekali saya bertanya kepadanya. Katanya di Garut belum ada LSM yang fokus terhadap antisipasi adanya bencana.

Jam 4 lebih kami bertiga berangkat ke beskem Kidul. Ada Kang Riki dan satu orang lagi saya lupa namanya. Ternyata mereka berdua belum tahu pelatihan dimulai hari ini. Saya nengok ke Denden, kata dia, sengaja tidak dikasih tahu karena sekarang kita ngobrol-ngobrol bebas aja dulu biar saya dan Deni tahu situasi di sana (?). Menarik bagi saya, di Kidul banyak penggiat yang usianya masih muda, diantaranya masih sekolah. Berbeda dengan Lebak yang kebanyakan sudah lulus kuliah atau bahkan sudah berkeluarga. Jika kami merasa kagum akan semangat para penggiat di beskem Lebak ketika belajar bahasa Inggris, Corel, Photoshop, kami mengharapkan yang di beskem Kidul ini seharusnya akan lebih semangat lagi dengan jiwa mudanya.

Hari menjelang malam, tapi langit masih cerah, rokok saya matikan. Relawan yang lain pun satu perdua berdatangan. Ternyata di sini sepertinya akan lebih banyak yang belajar. Kata Denden, malah ini belum hadir semua. Saya hitung, ada 13 orang. Suasana pun semakin hangat. Tanpa disadari kapan mulainya, kita semua sudah masuk dalam “forum diskusi” tidak formal yang sangat interaktif. Hampir setengahnya materi DKV yang akan kami terangkan kepada mereka, sudah dibahas dengan tidak sengaja terpancing oleh pertanyaan-pertanyaan mereka seputar desain. Padahal, kami belum akan (belum akan?) masuk materi hari ini. Diantara kami, ada yang namanya Asep yang kata relawan lain agak pemalu. Setelah didorong untuk bertanya oleh teman-temannya, akhirnya dia pun bertanya. “Gimana kalau yang tidak bisa melihat? Apakah karya desain tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak bisa melihat?”. Waduuuh! Pertanyaan yang bagus saya pikir. Bahkan saya pun yang notabene sudah belajar DKV selama 5thn belum pernah kepikiran akan pertanyaan tersebut. Dan, saya pun belum pernah menemukan wacana yang membahas pertanyaan tadi (mungkin karena jarang baca hehe...)

Saya kira, pertanyaan tadi adalah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh seorang desainer, bukan?

Kamis, 27 Desember 2007

Batik Garutan - Perpustakaan

Hari ke 11
Hari ini kami pergi ke pengrajin Batik Tulis Garutan. Meskipun ada beberapa tempat dan galeri, kami hanya mengunjungi satu tempat. Yaitu Batik Garutan RM. Saya mengajak Deni ke tempat yang tidak terlalu jauh dari beskem itu. Tepatnya di jalan Papandayan yang hanya berjarak sekitar 1km. Masih sekitar kawasan alun-alun. Dulu, saya lumayan sering ke sini waktu kuliah. Iyalah, Tugas Akhirnya memang tentang Batik Tulis Garutan :) malahan saya mengambil tema Batik Garutan pada empat mata kuliah hehe...Saya selalu salut kepada para pengrajin ini, “kuatan”, rumit, teu kabayang. Batik Tulis menurut saya sangat luar biasa, karya yang mengagumkan, hasil dari sebuah proses, hasil dari sebuah kerja keras, hasil dari ketekunan dan kesabaran yang luar biasa! Proses mewarnai satu warna pun butuh waktu yang sangat lama. Satu kain panjang (sekitar 120cm x 260cm) membutuhkan waktu 1 sampai 2 bulan. Gila! Salut! Padahal kalau di CorelDraw hanya butuh waktu beberapa menit saja.

Waduuuhhh senang sekali rasanya waktu datang ke galeri Batik Garutan tadi. Senang karena ternyata ada Ibu Uba Muharram (Owner RM, “sesepuh” Batik Garutan) dan suaminya. Soalnya jujur saja, susah sekali menemui beliau untuk wawancara waktu kuliah dulu. Beliau sangat sibuk. Dari sekian sering saya ke galerinya termasuk yang di Bandung, selama 2 tahun, saya hanya pernah bertemu 1 kali. Itupun tidak sempat ngobrol panjang lebar karena beliau sedang terburu-buru. Beliau pun sangat ramah sekali menyambut kami karena ternyata masih mengenal wajah saya katanya hehe....

Karena sekarang sedang musim hujan, kata beliau, warna yang sedang banyak diminati oleh konsumen sekarang ini adalah merah maroon. Berbeda dengan musim kemarau, karena udaranya cenderung panas, konsumen lebih memilih warna-warna lembut seperti biru soga yang sangat khas Garutan.

Perjalanan hari ini kami lanjutkan untuk mencari literatur tentang Garut dengan kebudayaannya. Kami pergi ke perpustakaan daerah yang jaraknya sangat dekat dengan tugu masuk ke kampung Panawuan. Berhadapan dengan Rumah Sakit Umum Dr. Slamet Garut. Seperti yang sudah diduga, karyawan perpustakaan pun bingung ketika kami menanyakan buku-buku yang berhubungan dengan kebudayaan Garut. Saya mendapatkan satu buku yang berjudul “Garoet Kota Intan”. Entah Deni baca apa karena kita berada di ruangan yang berbeda. Baru saja baca beberapa halaman, ternyata seorang ibu berseragam dengan sangat ramah memberi tahu saya bahwa waktunya telah habis. Ohhww saya lupa ternyata sekarang sudah hampir setengah empat sore. Sudahlah, mungkin besok hari kami bisa kembali lagi.

Minggu, 23 Desember 2007

Keliling Kampung

23Des
Lagi-lagi...lagu Letto yang bertajuk “Sebelum Cahaya” menjadi soundtrack mimpi saya dan Deni. Tapi, kali ini terdengar lebih kencaang!!, sehingga mengganggu tidur saya (mungkin juga Deni) pagi ini hehe.... Ketika saya keluar dari kamar, relawan yang suka dipanggil Ici sedang mengutak-ngatik photo kang Gogon dengan Photoshop sambil menikmati lagu bagus tetapi sayang menjadi soundtrack sinetron kampungan itu. Nyawa belum terkumpul semua, mata masih sepet, sepertinya tak rela meninggalkan bantal putih yang selalu menemani saat tidur. Sedikit kesal pun tetap ada, jam dinding yang mirip kompasnya Jack Sparrow dalam film Pirates of The Carribean yang selalu ngaco menunjukkan jam 05.44. Saya tahu itu salah. Kemudian balik lagi ke kamar, lihat jam di hp.......Waaaaaahhhhh! pantesan! Sekarang sudah jam 11 siang! Padahal, tadinya kita mau berangkat ke Kerkop, sebuah lapangan olahraga di bilangan Merdeka yang suka dipake jalan-jalan masyarakat Garut pada Minggu pagi. Mirip minggu paginya Gasibu di Bandung lah, hanya di sini jauh lebih terawat! Yang jualan, cuma nongkrong, yang cari sarapan, dari balita sampe Abah Ema ada semua.

Tadi malam kami “nongkrong” di warnet sampe jam 3an untuk melihat-lihat blog residen lain sekalian posting perdana cerita kami. Wajar saja kalau kami kesiangan :) Kesal pun dengan tiba-tiba menghilang karena ternyata Ici (mungkin) sengaja membangunkan kami dengan mengeraskan volume speaker, dia dan relawan lain mengajak kami ke acara syukuran Sunatan cucu kembar mbah Warma yang hanya terhalang oleh 3 rumah dari beskem.

Kembali ke beskem, sebagian masuk beskem, yang lain di luar, termasuk saya. Tong...tong...ada tukang es corong lewat. Persis di depan beskem, ada kolam kecil. Dua kolam lain yang jauh lebih besar berada di samping kiri beskem. Dua kolam tersebut masing-masing berada di samping kanan dan belakang TK Aisyiah pimpinan Teh Yanti yang selalu mengajak kami untuk tinggal di rumahnya. Bangunan sederhana di atas tanah wakaf itu, berpagar bambu dengan cat warna-warni seperti warna wahana bermain anak yang ada di dalamnya. Bagian depan dominan warna pink kusam dan biru, kecuali jendelanya yang berwarna-warni.

Dari beskem, menuju jalan besar kampung , nengok ke kanan, saya melihat warna hijau lebih dominan, warna biru urutan kedua, sisanya putih, pink dll. Ke arah kiri, tetap hijau lebih dominan. Dari persawahan sebelah barat, melihat ke perkampungan, bukan warna yang lebih menonjol, tetapi dinding2 belakang rumah warga yang belum dipelur, sehingga yang terlihat hanya batu bata yang menyusun dinding2 rumah warga. Ternyata kondisi rumah seperti itu memang dominan di kampung Panawuan. Bangunan-bangunan (rumah) terlihat sudah “berumur” apalagi ketika masuk ke dalam perkampungan. Kusam karena debu atau memang sudah lama. Adapula yang merupakan bangunan baru. Rumah-rumah baru pun sepertinya banyak yang tidak rampung. Kebanyakan sudah pakai lantai, ada beberapa rumah panggung. Rumah yang masih memakai bilik cuma beberapa.

Di tengah Kampung Panawuan Tonggoh ada sungai selebar kurang lebih 1meter. Sepertinya ada beberapa atau mungkin banyak warga yang suka buang sampah di situ. Dampaknya dirasakan oleh warga Kampung Panawuan Lebak terutama yang terletak di pinggir sungai. Jika musim hujan seperti sekarang, air meluap bersama sampah2 itu ke sekitar rumah warga Panawuan Lebak. Dulu, kata Kang Ao yang memandu kami keliling kampung hari ini, sungai ini lebar sekali. Sekarang, tanpa pakai jembatan pun kita masih bisa nyebrang dengan meloncat.

Kami mampir dulu ke rumah salah seorang tokoh masyarakat Panawuan Tonggoh. Warga menyebutnya Pak Mun, nama lengkapnya Pak Munawar. Beliau mengisi pengajian di 4 mesjid, mengajar bahasa Sunda dan bahasa Arab di tempat lain. Yang paling hebat kata warga adalah beliau juga mengurusi arisan 4000 orang warga kampung Panawuan. Saya sangat terkejut ketika Kang Ao mengatakan, Pak Mun itu baru berumur kira2 26 tahun! Sebutan “Pak” kepadanya karena masyarakat sangat menghormatinya. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana, dia laki-laki yang ulet, tak kenal lelah dan penuh semangat. Bahkan, ada warga yang suka menyebutnya “Haji”. Sayang, kami tidak dapat menemuinya hari ini karena beliau tidak ada di rumah.

Hampir setiap saya berdiri, saya selalu melihat warna hijau dan/atau biru. Namun kesimpulan sementara ini, hijau sepertinya lebih banyak. Sepertinya hamparan sawah yang hijau membawa warna ini ke level “top of mind” dalam otak masyarakat. Warna biru sepertinya terpengaruh oleh warna identitas salah satu partai dan organisasi Islam yang paling dominan di daerah ini. Saya mencatat, ada 5 rumah bergaya artdeco (mungkin? P Fahmi yang lebih tahu) di Panawuan Tonggoh, salah satunya telah di potret. Kami tidak bisa mengambil gambar banyak, karena habis batere :).










Ada 6 orang warga sedang “ngadu muncang“ yang menjadi salah satu masalah di kampung Panawuan. Permainan yang suka dipakai judi oleh beberapa warga ini sering menjadi bahan perbincangan. Kami mampir dulu ke rumah Denden, warna catnya juga hijau. Fasilitator CDASC ini termasuk orang yang dihormati masyarakat. Setiap kita pergi kemana-mana, selalu ada yang menyapanya dengan akrab.

Masyarakat mengakui keberadaan CDASC memang sangat berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi. Menurut Kang Ao, dulu ketika SMA, susah sekali mengajak teman sekolah ke rumah karena pada waktu itu, Panawuan sangat kacau. Pihak keamanan pun sering sekali datang waktu itu. Perubahan terjadi sekitar tahun 2002, dan CDASC yang datang di awal tahun ini memang sangat membantu. Warga masyarakat Panawuan sepertinya sudah sangat mengenal organisasi ini meskipun di beskem tidak ditempeli identitas visual yang memadai. Tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian warga yang "sinis" terhadap CDASC. Mungkin kami bisa menemukan penyebab2nya nanti.

Semua kegiatan yang dilakukan masyarakat murni inisiatif sendiri karena pemerintah setempat tidak terlalu peduli dengan keadaan kampung. Mang Dede, ketua relawan Panawuan Lebak yang sekaligus ketua RW 07, merupakan penggerak kegiatan di Panawuan Lebak. Selama kami di sini, Pak RW ini hampir tiap hari datang ke beskem walaupun cuma sekedar nongkrong. Menurut relawan, beliau bisa lebih aktif bersosialisasi terhadap masyarakat lewat adanya program CDASC, bukan karena adanya bantuan atau program pemerintah.

Setelah bertanya ke beberapa warga, termasuk relawan, tidak ada bukti fisik peninggalan sejarah. Tidak ada simbol atau bangunan yang dikeramatkan. Dahulu, kata Mang Dede sekitar tahun 70-an, ada sebuah batu yang yang disebut “BATU SILA” (batu yang menyerupai bentuk manusia seutuhnya seperti sedang bertapa) yang menimbulkan keresahan di masyarakat karena oleh sebagian warga dipakai untuk “meminta sesuatu”. Bahkan menimbulkan ideologi baru di masyarakat. Menurut “mitologi Panawuan”, patung tersebut dulunya adalah orang yang sedang bertapa. Patung yang terletak di pinggir sungai Cikamiri itu, digulingkan ke sungai oleh warga Muhammadiah yang khawatir akan menimbulkan kesesatan di masyarakat. Tempat sumber mata air bersejarah yang memunculkan kata “Pa-NAWU-an” pun sekarang sudah dijadikan rumah warga yang berwarna kuning. Memang, karena airnya sudah kering sejak lama. Tidak jauh dari bekas mata air tersebut, ada Madrasah Diniyah Panawuan dominan warna biru, sesuai dengan warna identitas organisasi Islam yang menaunginya. Di depannya ada mading dengan bingkai kayu dominan warna hijau.