Hari Ke-13
Lagu runaway-nya The Corrs memang indah, apalagi kalau sambil lihat vokalisnya :) Lumayan untuk menemani dirikyu di saat melepas lelah sambil ngetik “dongeng” hari ini. Tapi bukan lagu itu yang membuat hari ini saya katakan “Wow!”.
Mungkin ini yang PFahmi sebut sebagai “kegelisahan”. Bisa dikatakan, kemarin saya (dan Deni juga sepertinya) mulai merasakan kegelisahan-kegelisahan tersebut. Berbeda dengan kekhawatiran. Kegelisahan yang positif (mudah-mudahan). Kami mulai benar-benar memahami bahwa sesungguhnya DESIGN memang sebuah PROCESS. Kenapa? Karena sekarang kami sedang “berpetualang” dalam “proses” tersebut. Seperti yang PFahmi katakan tadi pagi saat chating, “desain teh multidisplin, aya keterlibatan proses, bukan cuman proses visualisasi”. Saya jadi teringat kepada teman baik saya dulu, dia mengatakan kepada saya bahwa kata DESIGN bisa diganti dengan kata PROCESS. Waktu itu saya masih semester pertama, dia satu tahun di atas saya, juga seorang mahasiswa DKV. Saya malah bengong, “naha ujug2 proses?? teu nyambung”. Wajarlah... namanya juga masih ABG heuheu.....Perkiraan dulu, desain hanya bergelut dengan korel, potosop, ples, adob iloestrator, de el el.
Kembali ke kegelisahan tadi. Banyak jalan menuju Roma (heuheu...biar tidak terlalu serius). Banyak cara menghilangkan kegelisahan. Yang pertama tentu saja kami lapor dulu ke PFahmi tadi malam sekalian minta jurnal desain Padang barangkali kami dapat bayangan apa yang harus dilakukan berikutnya. Akhirnya PFahmi mengajak kita untuk chating besok paginya (tadi pagi). Tadi pun kami bangun pagi sekali, tapi bukan untuk chating sama PFahmi yang sudah dijadwalkan jam 8 :) Kami malah mengerjakan laporan Rembug Warga yang katanya pengen didesain seperti majalah Concept (euleuhhh....hebat). Memang, kebiasaan buruk, ada saja alasan untuk terlambat, meskipun sudah zaman postmodern, masih ada saja istilah jam karet. Kami pergi ke warnet jam 10an. Itupun setelah PFahmi meng-sms yang katanya sudah online dari tadi. Beliau memang sangat baik sekali (heuheu.....jangan ge er), masih saja menyempatkan waktunya untuk mendengarkan kegelisahan kami walaupun katanya sangat lapar karena belum sempat sarapan.
“Curhat” pun berlangsung. Ternyata sekarang jauh lebih terbuka daripada ketika saya masih menjadi mahasiswanya heuheu.....menyenangkan! Setidaknya kami punya bayangan yang lebih jelas apa yang harus dilakukan berikutnya.
Kenapa saya gelisah? Saya punya ilustrasi seperti ini. Alkisah, kami adalah tikus paling tampan (heuheu....punten Deni) yang sedang mencari makanan di dapurnya seorang manusia. Kami senang karena ternyata (kami pikir) umat manusia itu baik sekali. Di hadapan kami ada sepotong keju menggantung pada sebuah kawat besi. Spontan, kami berdua saling menatap, kemudian tertawa sambil berlari penuh semangat hendak mengambil keju yang menggantung tadi karena sudah terlalu lapar! Apa yang terjadi.....ternyata kami terperangkap oleh jebakan manusia. Keju tadi adalah umpan agar kami masuk ke kotak yang terbuat dari kawat besi itu (Senteg.red). Kami pun mulai gelisah, tidak ada jalan keluar, kami pun beberapa saat saling terdiam, merenung, saya harus meminta saran atau memberi saran, Deni pun juga sepertinya sedang berpikir serius. Malam semakin gelap, sepi, hanya suara-suara serangga malam yang terdengar di luar seperti malam-malam kemarin. Satu yang pasti, kami sedang berpikir untuk keluar dari kebuntuan ini.
Heuheu.....nyambung teu nya ilustrasina. Tapi setidaknya itulah yang terjadi tadi malam antara saya dan Deni...(bukan masalah tikusnya). Setidaknya lagi, saya masih bisa berpikir (tidak) waras dengan masih sempat membuat cerita fiksi di atas hehe...
Back to reality.....
Sekitar jam 13.30 kami kembali ke beskem Lebak untuk nge-print Jurnal Desain Padang. Saya kemudian nelfon Fuji ketua relawan di Kampung Lio yang lagi-lagi sulit dihubungi. Kemudian kembali ke rumah Teh Yanti untuk menentukan materi pengajaran yang hari ini adalah hari pertama kami mengajar di beskem Kidul. Deni meneruskan me-layout laporan Rembug Warga, sementara saya melamun (hehehe...). Kemudian Denden datang sesaat sebelum Ashar. Kortim ini saya lihat sedang sibuk-sibuknya. Sekalian dia mengingatkan kami untuk mengajar di beskem Kidul. Sesekali saya bertanya kepadanya. Katanya di Garut belum ada LSM yang fokus terhadap antisipasi adanya bencana.
Jam 4 lebih kami bertiga berangkat ke beskem Kidul. Ada Kang Riki dan satu orang lagi saya lupa namanya. Ternyata mereka berdua belum tahu pelatihan dimulai hari ini. Saya nengok ke Denden, kata dia, sengaja tidak dikasih tahu karena sekarang kita ngobrol-ngobrol bebas aja dulu biar saya dan Deni tahu situasi di sana (?). Menarik bagi saya, di Kidul banyak penggiat yang usianya masih muda, diantaranya masih sekolah. Berbeda dengan Lebak yang kebanyakan sudah lulus kuliah atau bahkan sudah berkeluarga. Jika kami merasa kagum akan semangat para penggiat di beskem Lebak ketika belajar bahasa Inggris, Corel, Photoshop, kami mengharapkan yang di beskem Kidul ini seharusnya akan lebih semangat lagi dengan jiwa mudanya.
Hari menjelang malam, tapi langit masih cerah, rokok saya matikan. Relawan yang lain pun satu perdua berdatangan. Ternyata di sini sepertinya akan lebih banyak yang belajar. Kata Denden, malah ini belum hadir semua. Saya hitung, ada 13 orang. Suasana pun semakin hangat. Tanpa disadari kapan mulainya, kita semua sudah masuk dalam “forum diskusi” tidak formal yang sangat interaktif. Hampir setengahnya materi DKV yang akan kami terangkan kepada mereka, sudah dibahas dengan tidak sengaja terpancing oleh pertanyaan-pertanyaan mereka seputar desain. Padahal, kami belum akan (belum akan?) masuk materi hari ini. Diantara kami, ada yang namanya Asep yang kata relawan lain agak pemalu. Setelah didorong untuk bertanya oleh teman-temannya, akhirnya dia pun bertanya. “Gimana kalau yang tidak bisa melihat? Apakah karya desain tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak bisa melihat?”. Waduuuh! Pertanyaan yang bagus saya pikir. Bahkan saya pun yang notabene sudah belajar DKV selama 5thn belum pernah kepikiran akan pertanyaan tersebut. Dan, saya pun belum pernah menemukan wacana yang membahas pertanyaan tadi (mungkin karena jarang baca hehe...)
Saya kira, pertanyaan tadi adalah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh seorang desainer, bukan?
Lagu runaway-nya The Corrs memang indah, apalagi kalau sambil lihat vokalisnya :) Lumayan untuk menemani dirikyu di saat melepas lelah sambil ngetik “dongeng” hari ini. Tapi bukan lagu itu yang membuat hari ini saya katakan “Wow!”.
Mungkin ini yang PFahmi sebut sebagai “kegelisahan”. Bisa dikatakan, kemarin saya (dan Deni juga sepertinya) mulai merasakan kegelisahan-kegelisahan tersebut. Berbeda dengan kekhawatiran. Kegelisahan yang positif (mudah-mudahan). Kami mulai benar-benar memahami bahwa sesungguhnya DESIGN memang sebuah PROCESS. Kenapa? Karena sekarang kami sedang “berpetualang” dalam “proses” tersebut. Seperti yang PFahmi katakan tadi pagi saat chating, “desain teh multidisplin, aya keterlibatan proses, bukan cuman proses visualisasi”. Saya jadi teringat kepada teman baik saya dulu, dia mengatakan kepada saya bahwa kata DESIGN bisa diganti dengan kata PROCESS. Waktu itu saya masih semester pertama, dia satu tahun di atas saya, juga seorang mahasiswa DKV. Saya malah bengong, “naha ujug2 proses?? teu nyambung”. Wajarlah... namanya juga masih ABG heuheu.....Perkiraan dulu, desain hanya bergelut dengan korel, potosop, ples, adob iloestrator, de el el.
Kembali ke kegelisahan tadi. Banyak jalan menuju Roma (heuheu...biar tidak terlalu serius). Banyak cara menghilangkan kegelisahan. Yang pertama tentu saja kami lapor dulu ke PFahmi tadi malam sekalian minta jurnal desain Padang barangkali kami dapat bayangan apa yang harus dilakukan berikutnya. Akhirnya PFahmi mengajak kita untuk chating besok paginya (tadi pagi). Tadi pun kami bangun pagi sekali, tapi bukan untuk chating sama PFahmi yang sudah dijadwalkan jam 8 :) Kami malah mengerjakan laporan Rembug Warga yang katanya pengen didesain seperti majalah Concept (euleuhhh....hebat). Memang, kebiasaan buruk, ada saja alasan untuk terlambat, meskipun sudah zaman postmodern, masih ada saja istilah jam karet. Kami pergi ke warnet jam 10an. Itupun setelah PFahmi meng-sms yang katanya sudah online dari tadi. Beliau memang sangat baik sekali (heuheu.....jangan ge er), masih saja menyempatkan waktunya untuk mendengarkan kegelisahan kami walaupun katanya sangat lapar karena belum sempat sarapan.
“Curhat” pun berlangsung. Ternyata sekarang jauh lebih terbuka daripada ketika saya masih menjadi mahasiswanya heuheu.....menyenangkan! Setidaknya kami punya bayangan yang lebih jelas apa yang harus dilakukan berikutnya.
Kenapa saya gelisah? Saya punya ilustrasi seperti ini. Alkisah, kami adalah tikus paling tampan (heuheu....punten Deni) yang sedang mencari makanan di dapurnya seorang manusia. Kami senang karena ternyata (kami pikir) umat manusia itu baik sekali. Di hadapan kami ada sepotong keju menggantung pada sebuah kawat besi. Spontan, kami berdua saling menatap, kemudian tertawa sambil berlari penuh semangat hendak mengambil keju yang menggantung tadi karena sudah terlalu lapar! Apa yang terjadi.....ternyata kami terperangkap oleh jebakan manusia. Keju tadi adalah umpan agar kami masuk ke kotak yang terbuat dari kawat besi itu (Senteg.red). Kami pun mulai gelisah, tidak ada jalan keluar, kami pun beberapa saat saling terdiam, merenung, saya harus meminta saran atau memberi saran, Deni pun juga sepertinya sedang berpikir serius. Malam semakin gelap, sepi, hanya suara-suara serangga malam yang terdengar di luar seperti malam-malam kemarin. Satu yang pasti, kami sedang berpikir untuk keluar dari kebuntuan ini.
Heuheu.....nyambung teu nya ilustrasina. Tapi setidaknya itulah yang terjadi tadi malam antara saya dan Deni...(bukan masalah tikusnya). Setidaknya lagi, saya masih bisa berpikir (tidak) waras dengan masih sempat membuat cerita fiksi di atas hehe...
Back to reality.....
Sekitar jam 13.30 kami kembali ke beskem Lebak untuk nge-print Jurnal Desain Padang. Saya kemudian nelfon Fuji ketua relawan di Kampung Lio yang lagi-lagi sulit dihubungi. Kemudian kembali ke rumah Teh Yanti untuk menentukan materi pengajaran yang hari ini adalah hari pertama kami mengajar di beskem Kidul. Deni meneruskan me-layout laporan Rembug Warga, sementara saya melamun (hehehe...). Kemudian Denden datang sesaat sebelum Ashar. Kortim ini saya lihat sedang sibuk-sibuknya. Sekalian dia mengingatkan kami untuk mengajar di beskem Kidul. Sesekali saya bertanya kepadanya. Katanya di Garut belum ada LSM yang fokus terhadap antisipasi adanya bencana.
Jam 4 lebih kami bertiga berangkat ke beskem Kidul. Ada Kang Riki dan satu orang lagi saya lupa namanya. Ternyata mereka berdua belum tahu pelatihan dimulai hari ini. Saya nengok ke Denden, kata dia, sengaja tidak dikasih tahu karena sekarang kita ngobrol-ngobrol bebas aja dulu biar saya dan Deni tahu situasi di sana (?). Menarik bagi saya, di Kidul banyak penggiat yang usianya masih muda, diantaranya masih sekolah. Berbeda dengan Lebak yang kebanyakan sudah lulus kuliah atau bahkan sudah berkeluarga. Jika kami merasa kagum akan semangat para penggiat di beskem Lebak ketika belajar bahasa Inggris, Corel, Photoshop, kami mengharapkan yang di beskem Kidul ini seharusnya akan lebih semangat lagi dengan jiwa mudanya.
Hari menjelang malam, tapi langit masih cerah, rokok saya matikan. Relawan yang lain pun satu perdua berdatangan. Ternyata di sini sepertinya akan lebih banyak yang belajar. Kata Denden, malah ini belum hadir semua. Saya hitung, ada 13 orang. Suasana pun semakin hangat. Tanpa disadari kapan mulainya, kita semua sudah masuk dalam “forum diskusi” tidak formal yang sangat interaktif. Hampir setengahnya materi DKV yang akan kami terangkan kepada mereka, sudah dibahas dengan tidak sengaja terpancing oleh pertanyaan-pertanyaan mereka seputar desain. Padahal, kami belum akan (belum akan?) masuk materi hari ini. Diantara kami, ada yang namanya Asep yang kata relawan lain agak pemalu. Setelah didorong untuk bertanya oleh teman-temannya, akhirnya dia pun bertanya. “Gimana kalau yang tidak bisa melihat? Apakah karya desain tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak bisa melihat?”. Waduuuh! Pertanyaan yang bagus saya pikir. Bahkan saya pun yang notabene sudah belajar DKV selama 5thn belum pernah kepikiran akan pertanyaan tersebut. Dan, saya pun belum pernah menemukan wacana yang membahas pertanyaan tadi (mungkin karena jarang baca hehe...)
Saya kira, pertanyaan tadi adalah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh seorang desainer, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar