Senin, 31 Desember 2007

Hepi Nyu Yeurr

Hari ke-15
Pagi-pagi saya sudah bangun soalnya ada rencana mendiskusikan pembuatan logo dengan Denden dan para relawan. Draft (hanya corat-coret.red) yang mau dipresentasikan pun sudah dicatat. Isinya, uraian materi yang harus diterangkan nanti waktu ngumpul mengenai pembuatan logo FASB (Forum Anak Siaga Bencana). Menurut rencana, prosesnya harus melibatkan relawan (meskipun tidak seluruhnya) dalam proses pembuatan logo tersebut. Pelibatan diharapkan akan memunculkan impresi dan rasa memiliki para penggiat komunitas terhadap logo yang akan dibuat. Terlebih lagi, para penggiat di komunitas ini diharapkan bisa mandiri ketika beberapa bulan ke depan akan ditinggalkan oleh organisasi “induknya” (apakah istilahnya seperti itu..??), CDASC.

Tapi ternyata semuanya tidak berjalan dengan lancar. Memang, karena agenda ngumpul tidak kami “sebarkan” secara serius. Kami hanya membicarakan ini dengan para relawan sebagian. Itu pun tidak disampaikan terlalu serius.

Saya lupa bahwa hari ini sebagian orang akan merayakan hari tahun baru. Tadi pagi ketika beli rokok ada Kang Ao bawa ransel yang memberitahu saya akan berangkat ke Papandayan dengan beberapa relawan lain. Sejam kemudian saya pergi ke beskem Lebak, ternyata memang, tempat yang biasa rame menjadi sepi, cuma ada Kang Eki yang justru biasanya tidak terlalu sering mengunjungi beskem. Saya pun kembali ke rumah (Teh Yanti). Kami berdua bingung, harus ngapain hari ini. Deni masih nerusin nge-trace gambarnya yang kemarin lusa baru di-scan. Saya pun iseng sms Sansan, menanyakan sudah mengerjakan apa saja di Bantul sekalian menanyakan no. hp Ata. Hasilnya, lumayan. Saya dan Deni bisa ada alasan untuk tertawa hahahaha. Ternyata bukan kami saja yang gelisah...komo Ata mah cenah heuheu...dah sebulan gelisah, “gelo siah” kata Ata.

Karena bingung (bingung wae iyeumah ceuk PFahmi teh heuheu.....punten Bos) mau ke mana hari ini. Saya pun bertanya kepada Teh Yanti yang kebetulan sedang berada di rumah mengenai cara mengumpulkan (setidaknya) perwakilan relawan dari masing-masing beskem. Sampai saat ini, susah sekali sepertinya mengumpulkan mereka karena punya agenda yang berbeda-beda. Seperti di kampung Lio, saat ini masih mempunyai agenda Rembug Warga, tapi di Panawuan Lebak sudah beres pada hari kedua setelah kedatangan kami. Teh Yanti pun mengatakan “Insya Allah saya bisa mengumpulkan mereka”. Sebetulnya, bisa saja kami hanya melibatkan relawan di Panawuan saja, tapi dikhawatirkan akan terjadi “kecemburuan”.

Berawal dari pertanyaan tadi, ternyata akhirnya kami dan Teh Yanti ngobrol segala macem. Curhat sudah pasti hehe...tapi beliau banyak sekali menerangkan “tentang hidup”, dan hampir selalu begitu setiap kami membicarakan sesuatu. Selalu ada pelajaran berharga yang dapat kami ambil.

Adzan Ashar berkumandang, kami harus bersiap-siap pergi ke Kidul untuk mengajar. Tidak seperti biasanya, saya bawa laptop untuk sekalian mengetik “dongeng” hari ini di sela-sela ngajar. Biasanya, saya tulis dulu ke buku kecil, tapi menurut pengalaman hari-hari yang lalu, tiap malam ketika membuka buku kecil dan akan menuangkannya dalam “mikrosop weud”, waduuuhhh langsung pening meeennn.....pabaliut jeung tunduh!

Bingung (bingung deui??) nyerita na oge ari teu ka mana-mana mah nya...Oh iya, tadi pagi ketika beli kopi Abese Moka, saya ketemu sama Ki Barzah pendekar silat tea, dia mengajak kami malam ini (sekarang berarti!) ke alun-alun yang katanya suka rame pada malam tahun baru-an, sekalian bawa Camcorder buat iseng2 nge-shot katanya. Tos heula ah.....

Selamat Hari Raya Tahun Baru bagi Anda yang menunaikannya...


Sabtu, 29 Desember 2007

Wow!

Hari Ke-13
Lagu runaway-nya The Corrs memang indah, apalagi kalau sambil lihat vokalisnya :) Lumayan untuk menemani dirikyu di saat melepas lelah sambil ngetik “dongeng” hari ini. Tapi bukan lagu itu yang membuat hari ini saya katakan “Wow!”.

Mungkin ini yang PFahmi sebut sebagai “kegelisahan”. Bisa dikatakan, kemarin saya (dan Deni juga sepertinya) mulai merasakan kegelisahan-kegelisahan tersebut. Berbeda dengan kekhawatiran. Kegelisahan yang positif (mudah-mudahan). Kami mulai benar-benar memahami bahwa sesungguhnya DESIGN memang sebuah PROCESS. Kenapa? Karena sekarang kami sedang “berpetualang” dalam “proses” tersebut. Seperti yang PFahmi katakan tadi pagi saat chating, “desain teh multidisplin, aya keterlibatan proses, bukan cuman proses visualisasi”. Saya jadi teringat kepada teman baik saya dulu, dia mengatakan kepada saya bahwa kata DESIGN bisa diganti dengan kata PROCESS. Waktu itu saya masih semester pertama, dia satu tahun di atas saya, juga seorang mahasiswa DKV. Saya malah bengong, “naha ujug2 proses?? teu nyambung”. Wajarlah... namanya juga masih ABG heuheu.....Perkiraan dulu, desain hanya bergelut dengan korel, potosop, ples, adob iloestrator, de el el.

Kembali ke kegelisahan tadi. Banyak jalan menuju Roma (heuheu...biar tidak terlalu serius). Banyak cara menghilangkan kegelisahan. Yang pertama tentu saja kami lapor dulu ke PFahmi tadi malam sekalian minta jurnal desain Padang barangkali kami dapat bayangan apa yang harus dilakukan berikutnya. Akhirnya PFahmi mengajak kita untuk chating besok paginya (tadi pagi). Tadi pun kami bangun pagi sekali, tapi bukan untuk chating sama PFahmi yang sudah dijadwalkan jam 8 :) Kami malah mengerjakan laporan Rembug Warga yang katanya pengen didesain seperti majalah Concept (euleuhhh....hebat). Memang, kebiasaan buruk, ada saja alasan untuk terlambat, meskipun sudah zaman postmodern, masih ada saja istilah jam karet. Kami pergi ke warnet jam 10an. Itupun setelah PFahmi meng-sms yang katanya sudah online dari tadi. Beliau memang sangat baik sekali (heuheu.....jangan ge er), masih saja menyempatkan waktunya untuk mendengarkan kegelisahan kami walaupun katanya sangat lapar karena belum sempat sarapan.

“Curhat” pun berlangsung. Ternyata sekarang jauh lebih terbuka daripada ketika saya masih menjadi mahasiswanya heuheu.....menyenangkan! Setidaknya kami punya bayangan yang lebih jelas apa yang harus dilakukan berikutnya.

Kenapa saya gelisah? Saya punya ilustrasi seperti ini. Alkisah, kami adalah tikus paling tampan (heuheu....punten Deni) yang sedang mencari makanan di dapurnya seorang manusia. Kami senang karena ternyata (kami pikir) umat manusia itu baik sekali. Di hadapan kami ada sepotong keju menggantung pada sebuah kawat besi. Spontan, kami berdua saling menatap, kemudian tertawa sambil berlari penuh semangat hendak mengambil keju yang menggantung tadi karena sudah terlalu lapar! Apa yang terjadi.....ternyata kami terperangkap oleh jebakan manusia. Keju tadi adalah umpan agar kami masuk ke kotak yang terbuat dari kawat besi itu (Senteg.red). Kami pun mulai gelisah, tidak ada jalan keluar, kami pun beberapa saat saling terdiam, merenung, saya harus meminta saran atau memberi saran, Deni pun juga sepertinya sedang berpikir serius. Malam semakin gelap, sepi, hanya suara-suara serangga malam yang terdengar di luar seperti malam-malam kemarin. Satu yang pasti, kami sedang berpikir untuk keluar dari kebuntuan ini.

Heuheu.....nyambung teu nya ilustrasina. Tapi setidaknya itulah yang terjadi tadi malam antara saya dan Deni...(bukan masalah tikusnya). Setidaknya lagi, saya masih bisa berpikir (tidak) waras dengan masih sempat membuat cerita fiksi di atas hehe...

Back to reality.....
Sekitar jam 13.30 kami kembali ke beskem Lebak untuk nge-print Jurnal Desain Padang. Saya kemudian nelfon Fuji ketua relawan di Kampung Lio yang lagi-lagi sulit dihubungi. Kemudian kembali ke rumah Teh Yanti untuk menentukan materi pengajaran yang hari ini adalah hari pertama kami mengajar di beskem Kidul. Deni meneruskan me-layout laporan Rembug Warga, sementara saya melamun (hehehe...). Kemudian Denden datang sesaat sebelum Ashar. Kortim ini saya lihat sedang sibuk-sibuknya. Sekalian dia mengingatkan kami untuk mengajar di beskem Kidul. Sesekali saya bertanya kepadanya. Katanya di Garut belum ada LSM yang fokus terhadap antisipasi adanya bencana.

Jam 4 lebih kami bertiga berangkat ke beskem Kidul. Ada Kang Riki dan satu orang lagi saya lupa namanya. Ternyata mereka berdua belum tahu pelatihan dimulai hari ini. Saya nengok ke Denden, kata dia, sengaja tidak dikasih tahu karena sekarang kita ngobrol-ngobrol bebas aja dulu biar saya dan Deni tahu situasi di sana (?). Menarik bagi saya, di Kidul banyak penggiat yang usianya masih muda, diantaranya masih sekolah. Berbeda dengan Lebak yang kebanyakan sudah lulus kuliah atau bahkan sudah berkeluarga. Jika kami merasa kagum akan semangat para penggiat di beskem Lebak ketika belajar bahasa Inggris, Corel, Photoshop, kami mengharapkan yang di beskem Kidul ini seharusnya akan lebih semangat lagi dengan jiwa mudanya.

Hari menjelang malam, tapi langit masih cerah, rokok saya matikan. Relawan yang lain pun satu perdua berdatangan. Ternyata di sini sepertinya akan lebih banyak yang belajar. Kata Denden, malah ini belum hadir semua. Saya hitung, ada 13 orang. Suasana pun semakin hangat. Tanpa disadari kapan mulainya, kita semua sudah masuk dalam “forum diskusi” tidak formal yang sangat interaktif. Hampir setengahnya materi DKV yang akan kami terangkan kepada mereka, sudah dibahas dengan tidak sengaja terpancing oleh pertanyaan-pertanyaan mereka seputar desain. Padahal, kami belum akan (belum akan?) masuk materi hari ini. Diantara kami, ada yang namanya Asep yang kata relawan lain agak pemalu. Setelah didorong untuk bertanya oleh teman-temannya, akhirnya dia pun bertanya. “Gimana kalau yang tidak bisa melihat? Apakah karya desain tidak bisa dinikmati oleh orang yang tidak bisa melihat?”. Waduuuh! Pertanyaan yang bagus saya pikir. Bahkan saya pun yang notabene sudah belajar DKV selama 5thn belum pernah kepikiran akan pertanyaan tersebut. Dan, saya pun belum pernah menemukan wacana yang membahas pertanyaan tadi (mungkin karena jarang baca hehe...)

Saya kira, pertanyaan tadi adalah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh seorang desainer, bukan?

Kamis, 27 Desember 2007

Batik Garutan - Perpustakaan

Hari ke 11
Hari ini kami pergi ke pengrajin Batik Tulis Garutan. Meskipun ada beberapa tempat dan galeri, kami hanya mengunjungi satu tempat. Yaitu Batik Garutan RM. Saya mengajak Deni ke tempat yang tidak terlalu jauh dari beskem itu. Tepatnya di jalan Papandayan yang hanya berjarak sekitar 1km. Masih sekitar kawasan alun-alun. Dulu, saya lumayan sering ke sini waktu kuliah. Iyalah, Tugas Akhirnya memang tentang Batik Tulis Garutan :) malahan saya mengambil tema Batik Garutan pada empat mata kuliah hehe...Saya selalu salut kepada para pengrajin ini, “kuatan”, rumit, teu kabayang. Batik Tulis menurut saya sangat luar biasa, karya yang mengagumkan, hasil dari sebuah proses, hasil dari sebuah kerja keras, hasil dari ketekunan dan kesabaran yang luar biasa! Proses mewarnai satu warna pun butuh waktu yang sangat lama. Satu kain panjang (sekitar 120cm x 260cm) membutuhkan waktu 1 sampai 2 bulan. Gila! Salut! Padahal kalau di CorelDraw hanya butuh waktu beberapa menit saja.

Waduuuhhh senang sekali rasanya waktu datang ke galeri Batik Garutan tadi. Senang karena ternyata ada Ibu Uba Muharram (Owner RM, “sesepuh” Batik Garutan) dan suaminya. Soalnya jujur saja, susah sekali menemui beliau untuk wawancara waktu kuliah dulu. Beliau sangat sibuk. Dari sekian sering saya ke galerinya termasuk yang di Bandung, selama 2 tahun, saya hanya pernah bertemu 1 kali. Itupun tidak sempat ngobrol panjang lebar karena beliau sedang terburu-buru. Beliau pun sangat ramah sekali menyambut kami karena ternyata masih mengenal wajah saya katanya hehe....

Karena sekarang sedang musim hujan, kata beliau, warna yang sedang banyak diminati oleh konsumen sekarang ini adalah merah maroon. Berbeda dengan musim kemarau, karena udaranya cenderung panas, konsumen lebih memilih warna-warna lembut seperti biru soga yang sangat khas Garutan.

Perjalanan hari ini kami lanjutkan untuk mencari literatur tentang Garut dengan kebudayaannya. Kami pergi ke perpustakaan daerah yang jaraknya sangat dekat dengan tugu masuk ke kampung Panawuan. Berhadapan dengan Rumah Sakit Umum Dr. Slamet Garut. Seperti yang sudah diduga, karyawan perpustakaan pun bingung ketika kami menanyakan buku-buku yang berhubungan dengan kebudayaan Garut. Saya mendapatkan satu buku yang berjudul “Garoet Kota Intan”. Entah Deni baca apa karena kita berada di ruangan yang berbeda. Baru saja baca beberapa halaman, ternyata seorang ibu berseragam dengan sangat ramah memberi tahu saya bahwa waktunya telah habis. Ohhww saya lupa ternyata sekarang sudah hampir setengah empat sore. Sudahlah, mungkin besok hari kami bisa kembali lagi.

Minggu, 23 Desember 2007

Keliling Kampung

23Des
Lagi-lagi...lagu Letto yang bertajuk “Sebelum Cahaya” menjadi soundtrack mimpi saya dan Deni. Tapi, kali ini terdengar lebih kencaang!!, sehingga mengganggu tidur saya (mungkin juga Deni) pagi ini hehe.... Ketika saya keluar dari kamar, relawan yang suka dipanggil Ici sedang mengutak-ngatik photo kang Gogon dengan Photoshop sambil menikmati lagu bagus tetapi sayang menjadi soundtrack sinetron kampungan itu. Nyawa belum terkumpul semua, mata masih sepet, sepertinya tak rela meninggalkan bantal putih yang selalu menemani saat tidur. Sedikit kesal pun tetap ada, jam dinding yang mirip kompasnya Jack Sparrow dalam film Pirates of The Carribean yang selalu ngaco menunjukkan jam 05.44. Saya tahu itu salah. Kemudian balik lagi ke kamar, lihat jam di hp.......Waaaaaahhhhh! pantesan! Sekarang sudah jam 11 siang! Padahal, tadinya kita mau berangkat ke Kerkop, sebuah lapangan olahraga di bilangan Merdeka yang suka dipake jalan-jalan masyarakat Garut pada Minggu pagi. Mirip minggu paginya Gasibu di Bandung lah, hanya di sini jauh lebih terawat! Yang jualan, cuma nongkrong, yang cari sarapan, dari balita sampe Abah Ema ada semua.

Tadi malam kami “nongkrong” di warnet sampe jam 3an untuk melihat-lihat blog residen lain sekalian posting perdana cerita kami. Wajar saja kalau kami kesiangan :) Kesal pun dengan tiba-tiba menghilang karena ternyata Ici (mungkin) sengaja membangunkan kami dengan mengeraskan volume speaker, dia dan relawan lain mengajak kami ke acara syukuran Sunatan cucu kembar mbah Warma yang hanya terhalang oleh 3 rumah dari beskem.

Kembali ke beskem, sebagian masuk beskem, yang lain di luar, termasuk saya. Tong...tong...ada tukang es corong lewat. Persis di depan beskem, ada kolam kecil. Dua kolam lain yang jauh lebih besar berada di samping kiri beskem. Dua kolam tersebut masing-masing berada di samping kanan dan belakang TK Aisyiah pimpinan Teh Yanti yang selalu mengajak kami untuk tinggal di rumahnya. Bangunan sederhana di atas tanah wakaf itu, berpagar bambu dengan cat warna-warni seperti warna wahana bermain anak yang ada di dalamnya. Bagian depan dominan warna pink kusam dan biru, kecuali jendelanya yang berwarna-warni.

Dari beskem, menuju jalan besar kampung , nengok ke kanan, saya melihat warna hijau lebih dominan, warna biru urutan kedua, sisanya putih, pink dll. Ke arah kiri, tetap hijau lebih dominan. Dari persawahan sebelah barat, melihat ke perkampungan, bukan warna yang lebih menonjol, tetapi dinding2 belakang rumah warga yang belum dipelur, sehingga yang terlihat hanya batu bata yang menyusun dinding2 rumah warga. Ternyata kondisi rumah seperti itu memang dominan di kampung Panawuan. Bangunan-bangunan (rumah) terlihat sudah “berumur” apalagi ketika masuk ke dalam perkampungan. Kusam karena debu atau memang sudah lama. Adapula yang merupakan bangunan baru. Rumah-rumah baru pun sepertinya banyak yang tidak rampung. Kebanyakan sudah pakai lantai, ada beberapa rumah panggung. Rumah yang masih memakai bilik cuma beberapa.

Di tengah Kampung Panawuan Tonggoh ada sungai selebar kurang lebih 1meter. Sepertinya ada beberapa atau mungkin banyak warga yang suka buang sampah di situ. Dampaknya dirasakan oleh warga Kampung Panawuan Lebak terutama yang terletak di pinggir sungai. Jika musim hujan seperti sekarang, air meluap bersama sampah2 itu ke sekitar rumah warga Panawuan Lebak. Dulu, kata Kang Ao yang memandu kami keliling kampung hari ini, sungai ini lebar sekali. Sekarang, tanpa pakai jembatan pun kita masih bisa nyebrang dengan meloncat.

Kami mampir dulu ke rumah salah seorang tokoh masyarakat Panawuan Tonggoh. Warga menyebutnya Pak Mun, nama lengkapnya Pak Munawar. Beliau mengisi pengajian di 4 mesjid, mengajar bahasa Sunda dan bahasa Arab di tempat lain. Yang paling hebat kata warga adalah beliau juga mengurusi arisan 4000 orang warga kampung Panawuan. Saya sangat terkejut ketika Kang Ao mengatakan, Pak Mun itu baru berumur kira2 26 tahun! Sebutan “Pak” kepadanya karena masyarakat sangat menghormatinya. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana, dia laki-laki yang ulet, tak kenal lelah dan penuh semangat. Bahkan, ada warga yang suka menyebutnya “Haji”. Sayang, kami tidak dapat menemuinya hari ini karena beliau tidak ada di rumah.

Hampir setiap saya berdiri, saya selalu melihat warna hijau dan/atau biru. Namun kesimpulan sementara ini, hijau sepertinya lebih banyak. Sepertinya hamparan sawah yang hijau membawa warna ini ke level “top of mind” dalam otak masyarakat. Warna biru sepertinya terpengaruh oleh warna identitas salah satu partai dan organisasi Islam yang paling dominan di daerah ini. Saya mencatat, ada 5 rumah bergaya artdeco (mungkin? P Fahmi yang lebih tahu) di Panawuan Tonggoh, salah satunya telah di potret. Kami tidak bisa mengambil gambar banyak, karena habis batere :).










Ada 6 orang warga sedang “ngadu muncang“ yang menjadi salah satu masalah di kampung Panawuan. Permainan yang suka dipakai judi oleh beberapa warga ini sering menjadi bahan perbincangan. Kami mampir dulu ke rumah Denden, warna catnya juga hijau. Fasilitator CDASC ini termasuk orang yang dihormati masyarakat. Setiap kita pergi kemana-mana, selalu ada yang menyapanya dengan akrab.

Masyarakat mengakui keberadaan CDASC memang sangat berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi. Menurut Kang Ao, dulu ketika SMA, susah sekali mengajak teman sekolah ke rumah karena pada waktu itu, Panawuan sangat kacau. Pihak keamanan pun sering sekali datang waktu itu. Perubahan terjadi sekitar tahun 2002, dan CDASC yang datang di awal tahun ini memang sangat membantu. Warga masyarakat Panawuan sepertinya sudah sangat mengenal organisasi ini meskipun di beskem tidak ditempeli identitas visual yang memadai. Tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian warga yang "sinis" terhadap CDASC. Mungkin kami bisa menemukan penyebab2nya nanti.

Semua kegiatan yang dilakukan masyarakat murni inisiatif sendiri karena pemerintah setempat tidak terlalu peduli dengan keadaan kampung. Mang Dede, ketua relawan Panawuan Lebak yang sekaligus ketua RW 07, merupakan penggerak kegiatan di Panawuan Lebak. Selama kami di sini, Pak RW ini hampir tiap hari datang ke beskem walaupun cuma sekedar nongkrong. Menurut relawan, beliau bisa lebih aktif bersosialisasi terhadap masyarakat lewat adanya program CDASC, bukan karena adanya bantuan atau program pemerintah.

Setelah bertanya ke beberapa warga, termasuk relawan, tidak ada bukti fisik peninggalan sejarah. Tidak ada simbol atau bangunan yang dikeramatkan. Dahulu, kata Mang Dede sekitar tahun 70-an, ada sebuah batu yang yang disebut “BATU SILA” (batu yang menyerupai bentuk manusia seutuhnya seperti sedang bertapa) yang menimbulkan keresahan di masyarakat karena oleh sebagian warga dipakai untuk “meminta sesuatu”. Bahkan menimbulkan ideologi baru di masyarakat. Menurut “mitologi Panawuan”, patung tersebut dulunya adalah orang yang sedang bertapa. Patung yang terletak di pinggir sungai Cikamiri itu, digulingkan ke sungai oleh warga Muhammadiah yang khawatir akan menimbulkan kesesatan di masyarakat. Tempat sumber mata air bersejarah yang memunculkan kata “Pa-NAWU-an” pun sekarang sudah dijadikan rumah warga yang berwarna kuning. Memang, karena airnya sudah kering sejak lama. Tidak jauh dari bekas mata air tersebut, ada Madrasah Diniyah Panawuan dominan warna biru, sesuai dengan warna identitas organisasi Islam yang menaunginya. Di depannya ada mading dengan bingkai kayu dominan warna hijau.

Ini baru permulaan

Hari pertama

by : Be2n

17 Desember 2007

Wuih, seru banget nih hidup. Tahu kenapa? Let me tell u then. Ceritanya gini, Beben sampe di garut kira-kira jam 8 pagi, tapi itu pun baru nyampe Mesjid Agung Garut belum ke tempat tujuan tugas. Liat-liat Alun-alun Garut sambil nunggu Haris (my partner). Ga lama nunggu akhirnya dia datang juga dan kita langsung cabut menuju Bank BNI. Loh ko ke bank? Bukannya langsung ke tempat tujuan? Tenang, Brur!!! Yang harus di nomor satukan tuh duit, biar kita bisa hidup lebih tenang he he he. Tapi yang namanya keinginan tuh suka ga bisa ditentuin apa bisa kita raih ato ga. Maksudnya? Ya, maksud hati megang duit tapi apa daya duitnya belon bisa diambil alias kudu nunggu sampe hari rabu. Wah kaco banget deh. Kecewa sih kecewa cuman semangat tugas ngalahin semuanya (sumpeh, beben serius). Trus? Daripada panas mulai ngebakar kulit, akhirnya kita langsung ke tempat tujuan. Ok deh bos!!! Soal perjalanannya ga usah diceritain di sini. Alhamdulillah, kita sampe di basecamp dengan selamet ga kurang satu apapun.

Salah satu hal yang bikin terharu, terperangah, terkagum-kagum dan bahkan sampe terpesona adalah “first impression” dari orang-orang di basecamp. Sungguh, it’s beyond my imagination. Tahu knapa bisa ngerasa gitu?Gini, mereka ramah banget, nerima kedatangan kita dengan sambutan yang hangat, walaupun ga pake upacara ama pengalungan bunga he he he. Yang ada di pikiran adalah bahwa mereka tuh orang-orang biasa, eh ternyata saat kita ngobrol walaupun ngaler ngidul, ada satu sisi yang sangat menarik hati. Dengan sgala kepolosan, terbuka tanpa tedeng aling2, selalu diselingi dengan candaan, lepas, bebas tapi setiap statement yang terlontar sungguh dalam, membumi kata orang tua mah. Pernyataan2nya sederhana tapi sangat masuk akal. Sebuah kenyataan yang ngebuka pikiran bahwa ternyata tingkat pendidikan sama sekali ngga nentuin keintelektualan seseorang. Satu manfaat yang bisa didapatkan jika berada di luar dunia kita sendiri. Benar kata nenek beben, beliau pernah ngomong kalo jadi orang tuh “tong kurung batokkeun” (artinya klo jadi orang jangan berwawasan sempit). Terbukti !!! Beben dapet ilmu baru.Thank’s a lot for a guy who trusted and gave this great chance for me, makasih Pa Fahmi.

Belon juga cape ini ilang, kita (Beben ama Haris) dah diajak keliling. Kata Kang Denden (koordinator CDASC Garut) sih biar cepet tau budaya di Kampung Panawuan ini. Emang budaya apaan ya? Ah, ternyata kita diajak ke padepokan silat. Nama padepokannya adalah Padepokan Riksa Raga, sekarang dipimpin oleh Kang Taufik ama Kang Barzah. Kebetulan, di dalam padepokan mereka lagi latihan. Mereka, baik yang cewe atau yang cowo sama-sama hebat. Kesan yang didapat adalah silat tuh ternyata bener-bener indah sekaligus menakutkan. Loh kok menakutkan? Teranglah, andai beben ngeganggu cewe2 yang jago silat itu, alamat wajah yang udah cakep abis dioperasi plastik ini bisa babak belur, he he he. Beautiful!!! Coba kalo para pejabat yang di atas sana ngeliat langsung gimana silat yang sebenernya, pasti mereka bakal terpesona dan ga tanggung-tanggung tuk ngeluarin dana buat ngelestariin budaya leluhur. Mudah-mudahan satu hari nanti silat bisa go internasional. I hope!!!

Ilmu dapet, pengalaman baru juga dapet loh. Pengalaman apaan tuh? NGOBOR, do u know what ngobor is? Itu loh, cari terus nangkep belut (sebelumnya digebuk dulu), malem2, di tengah sawah, dah hujan lagi. Terang aja pematang sawahnya becek dan itulah yang bikin beben sampe tisoledat (terpeleset) 12x (diitung soalnna). Cool!!! Cape banget,brur!!! Soalnya ga istirahat sama sekali sejak sampe di basecamp. Tapi beben seneng banget, sumpah!!! Karena setelah itu kita goreng tuh belut, trus makan bareng2 relawan. Indah...B E A U T I F U L L kata orang sono mah.

Hal-hal ini yang bikin beben semanget dan bikin “PD” buat nyelesein tugas berat ini. Dah ah, beben mo bobo dulu. Ntar bersambung lagi ke jilid 2.


Kamis, 20 Desember 2007

Hari Berbagi...

Hari Keempat
Hari ini adalah hari istimewa buat agama Islam, Hari Raya Idul Adha, Hari berbagi. Namun bagi saya, hari ini tidak hanya istimewa, tapi sangat istimewa! Sejak kali pertama kuliah tahun 2002 sampe sekarang, saya belum pernah melihat penyembelihan hewan kurban di kampung sendiri pada hari H lebaran. Paling datang setelah lebaran atau tidak sama sekali. Jadi, karena sudah biasa, wajar kalau suara-suara takbir tidak terlalu memengaruhi saya untuk pulang dulu ke rumah meskipun cuma menempuh waktu sekitar 1jam’an lebih dari beskem Panawuan :). Yang menjadikan hari ini sangat istimewa adalah karena berlebaran di tempat yang sama sekali baru, berkumpul dengan orang2 baru, untuk keperluan tugas pula sebagai salah satu dari tim residensi yang saya yakin tidak semua desainer bisa mendapatkan pengalaman seperti kita. Terus terang, sejak kuliah hingga beberapa saat sebelum P Fahmi menjelaskan tentang tujuan proyek ini beberapa waktu lalu, saya selalu bertanya dalam hati: Apa yang bisa berikan kepada masyarakat dengan bidang yang saya geluti (desainer grafis.red)? Mudah-mudahan, pengalaman ini bisa menunjukkan jawabannya...


Senin, 17 Desember 2007

Awal yang indah....

17Des-Hari Pertama

Hari ini merupakan hari yang serba “pertama kali” buat saya. Pertama kali ditilang, hari pertama kerja, pertama kali masuk BNI Garut (hehe maksa..) dan “pertama kali-pertama kali” lainnya yang lebih maksa :)

Salam kenal buat residen Padang, Bantul dan Bengkulu!

Meskipun pertama kali datang ke tempat tujuan (beskem), ternyata kegiatan hari ini cukup padat. Dari mulai beres2 apa yang mau dibawa ke Panawuan shubuh tadi di rumah, sampe “ngobor” dan “ngaliwet” dengan relawan2 Panawuan barusan. Mungkin inilah dampak positifnya, karena saya dan Deni asli Sunda, apalagi saya orang Garut asli, tidak membutuhkan waktu terlalu banyak untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Panawuan, khususnya relawan. Saking asyiknya, wajar kalau laporan ini acak-acakan karena setiap “momen” pada hari ini sangat narsis. “Momen ditilang” ingin segera diceritakan kisahnya karena merasa ceritanya paling menarik, “momen di masjid agung” merasa kisahnya paling asyik, begitu juga “si momen-momen” yang lainnya hehe....

Saya dan Deni tidak berangkat bersamaan. Saya berangkat dari rumah (hanya menghabiskan waktu sekitar 1jam), Deni berangkat dari Bandung. Niatnya sih kita berangkat sepagi mungkin. Saya pun sudah siap-siap setelah sholat shubuh. Ternyata kakak sepupu yang mau nganter ke Panawuan, malah bangun kesiangan. Ya terpaksa nunggu sampe dia bangun. Sekitar jam 7an akhirnya dia bangun. Setelah semua siap, kita langsung “tebrang” ke tujuan...wushhhh!

Tujuh samudera, 5 benua kita lewati dengan aman dan tentram......cekiiiiiiitttt! motor lagi kenceng-kencengnya eh ternyata ada bapak Pulisi di depan minta kita berhenti. Padahal puncak tugu “Selamat Datang” untuk masuk ke Garut Kota sudah terlihat. Terpaksa kita berhenti dan raut muka sepupu saya pun mendadak merah, saya tahu dia tidak punya SIM.

“STNK?” kata pak Pulisi.

“Ini pak”.

“SIM?”

“Tidak punya pak”.

“Ow.....kesana” kata bapak berseragam itu sambil menunjuk ke arah belakang mobil sedan. Sepupu saya pun memahami “isyaratnya”. Dia pergi ke belakang sedan, saya memindahkan motor lebih ke pinggir............................Setelah nunggu kira2 10 menit akhirnya dia pun datang.

“Sabaraha?” saya tanya,

“dua puluh rebueun meunang nawar” jawab dia bari terlihat sedikit kesal.

Baru saja mau tancap gas, hape’ku “menangis”, pasti yang nelpon orang gila. Ternyata bener.

“Ris, urang geus nepi di SMA 3”. Kata Deni.

“Wah ulah didinya, di masjid Agung we, di alun-alun!”

Wuuuuuuuuusssssh! dengan kecepatan yang luarrr biasa, saya pun meneruskan perjalanan yang hanya sekitar 10menitan lagi.

Akhirnya, sampe juga ke pusat kabupaten Garut, alun-alun. Sambil nunggu Deni, saya dan sodara pun duduk di gerbang timur alun-alun yang persis di seberangnya adalah Lembaga Pemasyarakan. Sambil menghisap rokok dan menatap dinding2 LP yang tingginya sekitar 4-5 meter (meureun...), sesekali angkot menghalangi pandangan kami. Setelah beberapa menit berlalu, ternyata Deni belum datang juga. Saya lalu berjalan-jalan di sekitar alun-alun sekalian mencari beliyaw, ehhh baru saja 33 langkah (ngarang lagi hehe..), saya melihat sesosok manusia yang tak asing sedang melambai-lambaikan tangan terhadapku yu...ternyata dia nunggu di pintu utara...ya iyalah ga bakal ketemu...

Dreeennnn....kita bertiga pergi ke BNI di Jl. Ahmad Yani yang tidak jauh dari alun-alun, sekitar 150an meter. Dan ternyata, bukan duit yang di dapat, tapi perut melilit karena tadi lupa tidak sarapan (banyak). Kita pun langsung berangkat ke Panawuan yang katanya hanya berjarak 1km dari pusat kota Garut.. Sebelum sampe ke beskem, hanya beberapa ratus meter, kita berhenti dulu untuk nelpon Denden, fasilitator CDASC Garut yang katanya akan menjemput kita. Ternyata dia bilang tunggu beberapa saat karena sedang mengerjakan sesuatu. Sambil menikmati sebatang rokok, pandangan2 kita tertuju pada puncak2 bangunan dan tower selular (memang tidak setingggi gedung2 di Bandung atau Jakarta, apalagi New York hehe...) yang berada di kota dan daerah sekitarnya. Saya yakin, pemandangan2 itu akan lebih indah dipandang dari Kampung Panawuan karena dari tempat kita nunggu Denden sekarang, menuju ke Kampung Panawuan menanjak.

Sekitar 15menitan menunggu, waktu di hape saya menunjukkan jam 10.22, orang yang ditunggu datang juga. Setelah sama-sama memperkenalkan diri (sebelumnya cuma ngobrol lewat sms & telefon), kita pun berangkat menuju kampung yang katanya dianugerahi tanah pertanian yang subur dengan ketinggian kurang lebih 725m di atas permukaan laut ini. Dalam perjalanan, sesekali saya menengok ke belakang menikmati pemandangan kota Garut yang semakin jelas terlihat. Prediksi tadi memang benar, di sini terlihat jauh lebih indah. Baru saja menikmati keindahan itu, eh... ternyata kita sudah sampai ke tujuan, saya harap kita bisa lebih jauh lagi ke tujuan. Tapi saya sadar, ternyata saya belum tahu apa-apa tentang daerah saya sendiri. Dan semakin merasa tidak tahu apa2 ketika ngobrol dengan relawan2 yang sangat menyambut kami dengan sangat akrab.

Ketika kita sampe di beskem, ada beberapa relawan yang sedang ngobrol. Masing-masing memperkenalkan dirinya dengan ramah, ada Kang Didin yang rumahnya dijadikan beskem ini, kang Ucup dan Ferry. Seseorang langsung keluar, ternyata dia dari warung membeli teh botol. Tanpa basa basi dan rasa canggung, kita pun langsung ngobrol, tapi kita coba untuk lebih banyak mendengarkan. Anggapan sementara saya secara pribadi, sepertinya masyarakat di sini sangat terbuka dalam segala hal. “Didieumah sagala ge aya, tinu alus jeung nu gorengna. Nu brutal jeung nu bageur, nu mabok, nu sok judi, bahkan PSK ge aya, santrina loba, ustad loba” tutur kang Didin yang merupakan ketua Karang Taruna di kampung Panawuan. Masyarakat di sini memang sepertinya terbuka terhadap hal-hal baru. Pendapat tersebut di “iyakan” oleh kang Didin yang sepertinya sangat mengenal kampungnya ini.

Sementara yang lain masih ngobrol, saya membuka tas untuk mengambil beberapa majalah desain grafis Concept dan buku2 lain tentang desain. Kemudian saya simpan di atas meja di hadapan mereka. Sementara relawan-relawan yang lain satu persatu datang. Beberapa detik kemudian, tak satu pun dari buku2 tersebut berada di atas meja karena relawan2 di sini mengambilnya untuk dibaca atau sekedar melihat-lihat. Untuk waktu yang cuku lama, beskem pun terasa hening karena masing-masing sedang sibuk membaca buku2 yang saya bawa.

Adzan dzuhur memecah kesunyian kami, Denden pun mengajak kami ke rumahnya yang katanya tidak terlalu jauh dari sini. Dari sini saya mulai tahu bahwa Kampung Panawuan itu tidak cuma satu. Beskem tadi termasuk kampung Panawuan Lebak (bawah), sedangkan rumah Denden termasuk Panawuan Tonggoh (Atas). Wahhhh.....ternyata kita diajak ke sana untuk makan! Aciiikkk! Obrolan di beskem tadi membuat lupa bahwa saya lappparrr. SMP, Sudah Makan Pulang hikhiks...Denden mengajak kita ke beskem Panawuan Tonggoh. Lagi-lagi ada kejutan, ternyata beskem CDASC punya 3 tempat di Garut. Panawuan Lebak, Panawuan Tonggoh, satu lagi di pusat kota Garut yang namanya kampung Lio. Lokasi beskem Panawuan Atas sangat dekat dengan rumah Denden ternyata. Dari sini, pemandangannya lebih indah karena letaknya sedikit lebih atas. Juga, beskemnya berada di sisi kampung, sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan kita ke kota Garut yang ada di bawah kita.

Masyarakat Panawuan Lebak ternyata tidak hanya terkenal dengan berasnya. Kampung ini juga terkenal dengan seni beladiri Pencak Silat yang telah menetaskan jawara-jawara dan mampu mengukir prestasi di tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan bahkan mancanegara. Nama perguruannya adalah Paguron Pencak Silat Putra Siliwangi yang merupakan warisan seorang tokoh Silat Garut Kenamaan bapak Mahmud (Alm) yang diteruskan oleh Kang Taufik dan Kang/Ki Barzah. Selai jago silat, Kang Barzah juga ketua RW 07.

Cerita tentang Pencak Silat tadi membuat saya dan Deni tertarik untuk mengunjungi Paguron tersebut. Setelah adzan Ashar, relawan2 beskem Lebak pun mengajak kami mengunjungi Paguron yang masih termasuk kawasan RW 07 itu. Kebetulan hari ini, ada kegiatan latihan. Awalnya kita berangkat berlima termasuk kang Barzah, melewati jalan gede di kampung ini. Berjajar ke samping, sehingga menghalangi kendaraan yang mau lewat. Tapi kita merasa tenang, karena ada kang Barzah hehe....Hujan rintik-rintik menambah dramatis perjalanan kami, semua saya lihat pake jaket atw sweeter. Jika di foto dari depan, mungkin kita seperti... boyband yang senang melantunkan lagu2 cengeng.

Sampailah kita di tempat tujuan. Musik pengiring khas Pencak Silat seperti menyambut kedatangan kami, ge err.... Padahal bukan :) ....musik mereka sedang mengiringi lima orang remaja putri berkerudung sedang memperagakan gerakan2 Pencak Silat. Dilihat sepintas, para remaja berkerudung itu terlihat kalem. Padahal mereka adalah “pendekar” silat. Saya berbisik kepada Deni, “matakna, jeung urang Garut mah ulah macem-macem hehe...”. Kebetulan juga, di situ ada Kang Taufik Mahmud yang merupakan guru di Paguron ini, beliau juga adalah kakaknya kang Barzah. Sambil liat pertunjukkan, Deni ngobrol sama relawan dan kang Taufik, saya sesekali memotret pertunjukkan yang kadang menunjukkan gerakan2 berbahaya itu. Apalagi ketika 2 orang anak sekitar umur 8 tahunan (atau mungkin kurang) “bertarung” menggunakan golok dan tongkat. Membuat saya dan Deni “nyengir” (palalaur). Seringkali orang2 di ruangan itu, memberi tepuk tangan, apalagi untuk gerakkan2 yang “hebat”. Namun sayang, kami tidak bisa memotret semua gerakkan2 berbahaya yang mereka peragakkan karena kami tidak tahu kapan adegan tersebut dilakukan, semuanya terjadi terlalu cepat. Sekali lagi, saya memang tidak tahu apa-apa tentang salah satu kebudayaan lokal yang “sangat mengagumkan” ini. Apa yang mereka (pendekar2 ini) cari dengan mempelajari bela diri ini?? Saya yakin bukan prestasi apalagi uang. Kalau berbicara masalah uang, kata Kang Barzah, toh pemerintah daerah lebih rela memberikan uangnya untuk mendukung konstentan penyanyi dangdut di salah satu TV swasta beberapa tahun yang lalu, yang katanya sampe miliaran rupiah, woww! Mungkin hanya karena mendapat publikasi? Tapi jika ada atlet Pencak Silat (juga bidang olahraga lain) berprestasi, kopi-kopi hideungna atuh nya lumayan....dari pada henteu.

Kembali ke pertanyaan tadi....Apa yang mereka cari kalau bukan untuk mempertahankan kebudayaan asli daerahnya??

Setelah latihan selesai, kami pun berniat kembali lagi ke beskem. Ternyata jalan pulangnya tidak melewati jalan besar, tapi melalui gang-gang kecil di antara rumah warga. Sampailah kita di rumah berwarna hijau dengan pagar dari bambu. Usut punya usut, ternyata itu adalah rumah teh Yanti yang adalah salah satu relawan juga di sini. Kita dipersilahkan masuk ke dalam sambil memperkenalkan diri. Kita masuk, yang punya rumah malah keluar. Asyyikkkk lagi...ternyata teh Yanti datang lagi membawa kacang, kopi, dan brownis panas wuuuuuaahhh hhanas...mmmmmhhhmm...wuenak...dingin-dingin gini makan brownis panas. Itu sih ekspresi dalam hati aja hehe....tetep aja ga berani sabet ini itu da sieun dianggap rewog, kakara kenal deuih...Saya dan Deni baru tahu kalau tujuan kita ke sini untuk membicarakan tentang tempat tinggal kita berdua. Wah, kita sangat tersanjung, warga di sini sangat ramah-ramah. Bukannya tidak menghormati tawaran warga, tapi saya dan Deni cukup tinggal di beskem Lebak saja sementara ini, sekaligus mengamati kegiatan di beskem selama 24jam.

Adzan maghrib pun tiba, kami kembali ke beskem Lebak. Para relawan mengajak kita “ngobor” (menangkap belut pake obor, tapi sekarang kebanyakan pake patromak). Wah asik kayaknya! Terakhir kali ngobor waktu SMP duluuuu sekali waktu masih imut-imutnya hehe...ga penting. Kebetulan rumah dulu di tengah persawahan banget. Jadi “sono” kata orang Sunda mah. Ternyata di kampung Panawuan, ngobor masih jadi kebiasaan warga. Terbukti, selain kami, terlihat beberapa petromak menyala di tempat lain. Memang setelah habis hujan, cahaya bulan agak gelap, Belut biasanya suka “nongkrong” ke permukaan. Makanya, pada cuaca seperti ini, Surti dan Tejo enggan untuk mojok di pematang sawah hehe....karena banyak yang ngoborrr.

Pematang sawah yang kecil, licin, seringkali membuat kami terpeleset, apalagi Ilustrator kita wekwekwew....... Tapi semuanya membuat kita tertawa, dan yang tertawa paling kenceng biasanya juga ikut terjatuh hahahaha! Yang tak pernah jatuh hanya sang komandan pembawa patromak (maaf, saya tidak menanyakan namanya tadi), mungkin karena sudah pengalaman. Yang lain merayap, dia berlari. Memang, siapapun juga ada ahlinya, walaupun cuma “sekedar” berlari di pematang sawah apalagi malam hari, saya yakin tidak semua orang menganggapnya gampang. Hal sekecil apapun patut dicoba, itung-itung cari inspirasi. Mungkin saja Azis Zamrud terinspirasi menciptakan lagu “Surti Tejo” setelah beliau ngobor? Atau mungkin bagi orang lain, kebiasaan ini cukup unik, bukan?

Sreng....sreeengngng.....sang fasilitator kita memang serba bisa, selain mengatur kegiatan yang berhubungan dengan CDASC, dia juga sepertinya jago masak. Setelah dibumbui dengan tujuh macam rempah, bunga dan jampi-jampi, belut hasil tangkapan tadi pun digorengnya dengan penuh semangat. Semangat karena laparr mungkin :)

Semua beres, kita pun makan bersama dengan menu istimewa. Belut, tempe goreng, kancing lepis, sambal, kerupuk, dll. Wahhh, kebersamaan dengan orang-orang baru yang menyenangkan. Sungguh awal yang indah... mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar ke depan....mohon doa restu..!

Gambar Hari Pertama